Nanti 11 tahun kemudian, setelah Hatta menamatkan kuliahnya di Belanda, Mak Etek Ayub inilah, sekali lagi, tempatnya bersandar dan berkeluh kesah. Mana kala orang - orang menjauhi Hatta, di awal -- awal kepulangan Hatta dari Belanda, karena takut dipenjara Belanda, Mak Eteknyalah penyelamatnya. Dia malah menawarkan Hatta posisi penting di perusahaan miliknya. Hatta menolak, dan memilih terjun ke dunia pergerakan dengan segala resikonya, yang terus ditekuninya sampai Indonesia merdeka.
Seorang Penulis HebatÂ
Hatta dikenali sebagai tokoh bangsa yang pendiam, namun cerdas. Itu karena Hatta sangat gemar membaca. Ketika ia diasingkan ke Boven Digul Papua, yang sering disebut Siberianya Hindia Belanda, ia membawa serta 16 peti buku bersamanya. Dari ujung Indonesia itu, dari tempat pembuangan yang terpencil, tulisan - tulisannya tetap mengalir deras sampai ke Batavia bahkan ke Deen Hag, negeri Belanda. Dalam sebuah artikel yang ia tulis di dalam penjara, Hatta pernah berujar, "Selama saya memiliki buku, saya dapat tinggal di mana saja..."
Bahkan Sjahrir  pun, yang sama - sama berasal dari Minang Kabau, dan juga sama - sama  kuliah di negeri Belanda, melabeli Hatta sebagai sosok yang sombong. Itu karena ketika mereka berdua dibuang dan ditawan Belanda di Banda Neira Maluku, Hatta bisa menghabiskan berjam - jam lamanya untuk membaca buku, dan tidak bisa diganggu.
Hatta barangkali bisa dikatakan satu - satunya Bapak Bangsa yang paling banyak menulis, baik dalam bentuk artikel maupun buku. Tulisan pertamanya dalam bentuk cerpen dibuat pada saat umurnya masih 17 tahun dan belum lagi mengecam bangku kuliah. Judul tulisan itu "Namaku Hindania" yang dimuat majalah Jong Sumatera edisi kelima tahun 1920, dengan nama samaran "MH".Â
Tulisan itu berkisah tentang tokoh khayali (fiksi) bernama Hindania yang merupakan seorang janda cantik lagi kaya raya, yang terbuai bujuk rayu untuk menikah dengan seorang musafir dari Magrib bernama Wollandia, yang digambarkan dalam tulisannya itu dengan ungkapan, "sangat miskin dan melarat, dan anak-anaknya pun bertangisan."
Seperti yang dengan mudah dapat ditebak, Hindania adalah personifikasi dari Indonesia, Wollandia adalah negara penjajah Belanda.
Andai Hatta seorang cerpenis melankolis, tulisan itu akan penuh dengan nuansa percintaan, rindu dan dendam. Tapi Hatta adalah seorang pejuang, seorang nasionalis sejati yang mencintai negaranya melebihi apapun. Yang hatinya perih dan terluka melihat penindasan dan penjajahan di negerinya, berabad - abad lamanya.
Hatta memang tidak sehebat Soekarno dalam berpidato, yang bisa menghipnotis ribuan massa dengan kata - katanya. Pidato Hatta cenderung membosankan untuk didengar. Dia dianggap tokoh yang dingin, jarang tersenyum dan berkacamata tebal. Tapi kekuatan Hatta tidak terletak di situ, kekuatan Hatta sebenarnya ada pada ketajaman penanya.
Hatta tidak hanya fasih berbahasa Belanda, ia juga lancar berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris, Jerman dan Prancis, yang membuat tulisan dan gagasannya tersebar luas hingga ke masyarakat internasional.
Ketika Hatta kuliah di Belanda, kerajinannya menulis tak pernah padam. Hatta menulis dua tulisan dalam bahasa Belanda yang sangat baik pada edisi perdana majalah Indonesia Merdeka, yang sebelumnya bernama majalah Hindia Poetra. Kelak, Hatta mengenang masa - masa itu dengan ungkapan betapa "para Profesor Leiden meragukan majalah itu ditulis seluruhnya oleh pemuda-pemuda Indonesia."