sosok Bung Hatta, sang proklomator kemerdekaan Republik Indonesia, yang juga merupakan Wakil Presiden RI yang pertama. Dia yang bersama Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah bangsa Indonesia berjuang ratusan tahun lamanya, persis di halaman rumah Soekarno di gedung Pegangsaan Timur Jakarta, 17 Agustus 1945.
Barangkali tidak ada yang tidak mengenalNamanya diabadikan di beberapa ruas jalan di Sumatera Barat, Jakarta dan kota - kota lainnya, bahkan ada sebuah jalan di negeri Belanda tertulis dengan namanya. Istana kepresidenan di Bukittinggi diberi nama dengan namanya, karena pernah Hatta sebagai wakil presiden RI berkantor di sana. Sebuah perpustakaan besar dan megah, terletak bersebelehan dengan kantor walikota Bukittinggi diberi nama dengan namanya.
Mengenal Bung Hatta
Hanya ada 10 menara jam besar di dunia, salah satunya, adalah sebuah menara jam yang berdiri kokoh hingga kini di jantung kota Bukittinggi bernama Jam Gadang (Jam Besar), dimana konon mesinnya hanya ada dua di dunia, satunya lagi ada di menara jam Big Ben kota London, Inggris.
Kota Bukittinggi berhawa sejuk, pemandangannya cantik memanjakan mata. Jika cuaca sedang terang tak berawan, dari halaman Jam Gadang itu, anda dapat melihat dengan jelas Gunung Merapi dan Gunung Singgalang persis di hadapannya. Di tengahnya ada Ngarai Sianok yang membelah kota itu dengan sebuah sungai kecil di dasarnya.
Di kota inilah Hatta dilahirkan, tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1902. Ayahnya bernama Syaikh Mohammad Djamil, seorang ulama yang lahir, meninggal dan dikuburkan di Batu Hampar, sebuah negeri yang berjarak 20-an KM dari Bukittinggi ke arah Payakumbuh. Namun Hatta tak pernah tahu wajah ayahnya, sebab ayahnya meninggal manakala Hatta masih berusia tujuh bulan. Ranji keluarga Hatta menunjukkan bahwa kakeknya adalah seorang ulama besar Minang Kabau bernama Syaikh Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan Syaikh Batu Hampar.
Tapi Hatta tidak pernah belajar kepada kakeknya, itu karena rumahnya di Bukittinggi berjarak puluhan kilo meter dari Batu Hampar. Guru mengaji Hatta justru adalah seorang  tokoh pembaru Islam Minang Kabau, teman belajarnya Syaikh Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) di Makkah Al Mukarramah, Syaikh Mohammad Djamil Djambek, yang suraunya terletak beberapa langkah saja dari rumah Hatta. Hatta belajar agama di surau itu selepas belajar di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar zaman kolonial Belanda.
Pendidikan formal Hatta berlanjut di MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di kota Padang. Pun juga pendidikan agamanya. Di Padang, Hatta belajar kepada Haji Abdullah Ahmad, juga seorang ulama pembaharu Minang Kabau, teman belajarnya Syaikh M. Djamil Djambek di Masjidil Haram.
Pendidikan agama yang mapan inilah nanti yang akan banyak mempengaruhi sikap dan pemikiran Hatta, saat ia belajar di negeri Belanda, memimpin pergerakan dan menjadi wakil presiden Indonesia yang pertama.
Hatta merantau ke Batavia setamat dari MULO dan tinggal di rumah Mak Eteknya (saudara laki - laki ibunya yang paling kecil), Mak Etek Ayub, seorang saudagar besar yang hidup sederhana. Mak Etek Ayub inilah yang membiayai pendidikan Hatta di Prins Hendrik School (PHS) hingga tamat. Dia juga yang mengenalkan Hatta pada buku - buku dan ilmu pengetahuan. Di rumahnya yang besar di Tanah Abang, Mak Eteknya memberinya dua kamar sekaligus; satu kamar tidur, satu lagi kamar khusus untuk belajar. Melihat ketekunan dan kecerdasan Hatta dalam belajar, Mak Etek Ayub berjanji akan menyekolahkan Hatta sampai ke Rotterdam Belanda.
Hatta tetap berangkat ke Rotterdam setelah tamat dari PHS untuk melanjutkan pendidikannya di bidang ekonomi, tapi Mak Eteknya sedang dalam kondisi tidak baik - baik saja, pailit dan dalam penjara karena perkara dagang, yang membuatnya tak bisa memenuhi janjinya kepada kemenakan kesayangannya itu.