Mohon tunggu...
Roni Okto Junaedi M
Roni Okto Junaedi M Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi

NIM 55523110046 | Program Studi Magister Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

The Good, The Right Habermas: Tentang Pajak Internasional dan Keadilan Deliberatif (TB-I)

18 Oktober 2024   15:01 Diperbarui: 18 Oktober 2024   15:06 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep keadilan deliberatif Habermas dibangun di atas beberapa fondasi teoretis utama:

  1. Teori Tindakan Komunikatif: Habermas berpendapat bahwa rasionalitas sejati terletak pada kemampuan manusia untuk berkomunikasi dan mencapai pemahaman bersama. Ia membedakan antara tindakan strategis yang berorientasi pada kesuksesan individu, dan tindakan komunikatif yang bertujuan mencapai konsensus melalui argumentasi rasional (Habermas, 1984).
  2. Etika Diskursus: Habermas mengembangkan etika diskursus sebagai pendekatan prosedural untuk menyelesaikan konflik moral. Menurut prinsip etika diskursus, norma-norma moral hanya dapat dianggap valid jika mereka dapat diterima oleh semua pihak yang terkena dampak dalam situasi diskursus yang ideal (Habermas, 1990).
  3. Demokrasi Deliberatif: Sebagai alternatif terhadap model demokrasi liberal dan republikan, Habermas mengusulkan model demokrasi deliberatif yang menekankan pentingnya diskusi publik dan pembentukan opini kolektif dalam proses pengambilan keputusan politik (Habermas, 1996).

Berdasarkan fondasi teoretis tersebut, kita dapat mengidentifikasi beberapa prinsip utama keadilan deliberatif Habermas:

  1. Inklusivitas: Semua pihak yang terkena dampak dari keputusan atau kebijakan tertentu harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses deliberasi.
  2. Kesetaraan Diskursif: Setiap partisipan dalam deliberasi harus memiliki kesempatan yang sama untuk menyuarakan pendapat, mengajukan pertanyaan, dan menantang klaim-klaim yang diajukan.
  3. Rasionalitas Argumentatif: Proses deliberasi harus didasarkan pada pertukaran argumen yang rasional, bukan pada kekuasaan atau status sosial partisipan.
  4. Orientasi Konsensus: Meskipun konsensus penuh mungkin sulit dicapai dalam praktiknya, proses deliberasi harus diarahkan pada pencapaian kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak.
  5. Keterbukaan dan Transparansi: Proses deliberasi harus terbuka dan transparan, memungkinkan pengawasan publik dan akuntabilitas.
  6. Refleksivitas: Partisipan harus bersedia untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka dalam terang argumen-argumen baru yang muncul selama proses deliberasi

Prof. Apollo
Prof. Apollo

Meskipun konsep keadilan deliberatif Habermas awalnya dikembangkan dalam konteks negara-bangsa, ia sendiri telah berusaha memperluas aplikasinya ke arena global. Dalam era globalisasi, di mana banyak masalah melampaui batas-batas nasional, pemikiran Habermas tentang "konstelasi postnasional" dan demokrasi transnasional menjadi semakin relevan (Habermas, 2001). Beberapa aspek penting dari keadilan deliberatif dalam konteks global meliputi:

  • Ruang Publik Transnasional: Habermas mengadvokasi pembentukan ruang publik transnasional di mana warga global dapat berpartisipasi dalam diskusi tentang isu-isu yang mempengaruhi mereka secara kolektif (Fraser, 2007).
  • Institusi Global Demokratis: Ia berpendapat bahwa lembaga-lembaga global seperti PBB perlu direformasi untuk mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi deliberatif, meningkatkan legitimasi dan efektivitas mereka (Habermas, 2008).
  • Solidaritas Postnasional: Habermas mengusulkan konsep "patriotisme konstitusional" sebagai basis baru untuk solidaritas yang melampaui identitas nasional tradisional, didasarkan pada komitmen bersama terhadap prinsip-prinsip universal dan prosedur demokratis (Habermas, 2001).
  • Hukum Kosmopolitan: Dalam visinya tentang tatanan global yang lebih adil, Habermas mengadvokasi pengembangan hukum kosmopolitan yang dapat mengatur hubungan antara aktor global, termasuk negara, organisasi internasional, dan individu (Habermas, 2006).

Pajak Internasional: Definisi dan Urgensi

Sebelum kita menganalisis pajak internasional melalui lensa keadilan deliberatif Habermas, penting untuk memahami definisi, konteks, dan urgensi dari isu ini dalam lanskap ekonomi politik global kontemporer.

Pajak internasional merujuk pada aspek-aspek perpajakan yang melibatkan lebih dari satu yurisdiksi pajak. Ini mencakup berbagai isu, termasuk:

  • Perjanjian Pajak Bilateral dan Multilateral: Kesepakatan antar negara untuk menghindari pajak berganda dan mencegah penghindaran pajak.
  • Transfer Pricing: Aturan dan praktik yang mengatur penetapan harga transaksi antar perusahaan yang berafiliasi di berbagai yurisdiksi.
  • Perpajakan Perusahaan Multinasional: Tantangan dalam menentukan di mana dan bagaimana mengenakan pajak pada perusahaan yang beroperasi di berbagai negara.
  • Pertukaran Informasi Pajak: Mekanisme untuk berbagi informasi pajak antar otoritas pajak nasional.
  • Pajak Digital: Upaya untuk mengenakan pajak pada perusahaan teknologi global yang sering kali beroperasi tanpa kehadiran fisik di banyak negara.
  • Base Erosion and Profit Shifting (BEPS): Strategi yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan laba ke yurisdiksi pajak rendah.

Beberapa faktor telah meningkatkan urgensi untuk mereformasi sistem pajak internasional:

  • Globalisasi Ekonomi: Peningkatan mobilitas modal dan integrasi rantai nilai global telah menciptakan tantangan baru bagi sistem perpajakan tradisional yang berbasis teritorial.
  • Digitalisasi Ekonomi: Munculnya model bisnis digital yang tidak memerlukan kehadiran fisik telah menantang konsep tradisional tentang sumber pendapatan dan yurisdiksi pajak.
  • Kompetisi Pajak yang Merugikan: Beberapa yurisdiksi menawarkan rezim pajak yang sangat rendah atau opak, mendorong "race to the bottom" dalam tarif pajak korporasi global.
  • Penghindaran Pajak Skala Besar: Perusahaan multinasional sering memanfaatkan celah dalam sistem pajak internasional untuk secara agresif meminimalkan kewajiban pajak mereka.
  • Ketimpangan Global: Sistem pajak internasional saat ini sering dianggap memperparah ketimpangan antara negara maju dan berkembang dalam hal kemampuan untuk memobilisasi pendapatan domestik.
  • Krisis Fiskal Pasca-Pandemi: Pandemi COVID-19 telah meningkatkan tekanan pada anggaran pemerintah di seluruh dunia, memperkuat kebutuhan untuk sistem pajak yang lebih efektif dan adil.

Beberapa inisiatif penting telah diluncurkan untuk mengatasi tantangan perpajakan internasional:

  • Proyek BEPS OECD/G20: Inisiatif komprehensif untuk mengatasi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, termasuk 15 aksi untuk menutup celah dalam peraturan pajak internasional.
  • Proposal Pajak Minimum Global: Upaya untuk menetapkan tarif pajak minimum efektif global untuk perusahaan multinasional, bertujuan untuk mengurangi insentif untuk pengalihan laba.
  • Pajak Layanan Digital: Beberapa negara telah memperkenalkan atau mempertimbangkan pajak khusus pada pendapatan dari layanan digital.
  • Common Reporting Standard (CRS): Standar global untuk pertukaran informasi keuangan otomatis antar otoritas pajak.
  • Multilateral Instrument (MLI): Instrumen hukum yang memungkinkan yurisdiksi untuk secara efisien memodifikasi perjanjian pajak bilateral mereka untuk menerapkan langkah-langkah BEPS.

Meskipun inisiatif-inisiatif ini menunjukkan kemajuan, mereka juga menghadapi tantangan signifikan dalam hal implementasi dan penerimaan universal. Kompleksitas isu pajak internasional, divergensi kepentingan nasional, dan kesulitan dalam mencapai konsensus global menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam tata kelola pajak global.

Dalam konteks inilah pemikiran Habermas tentang keadilan deliberatif menjadi relevan. Pendekatan deliberatif dapat menawarkan kerangka kerja untuk mengatasi konflik kepentingan, meningkatkan legitimasi keputusan, dan menciptakan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan dalam arena pajak internasional. Dalam bagian selanjutnya, kita akan mengeksplorasi bagaimana prinsip-prinsip keadilan deliberatif Habermas dapat diterapkan untuk menganalisis dan potensial mereformasi sistem pajak internasional.

Prof. Apollo
Prof. Apollo

Analisis Pajak Internasional melalui Perspektif Habermas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun