Mohon tunggu...
Ronin Doctor
Ronin Doctor Mohon Tunggu... -

Hanyalah seorang dokter yang masih harus selalu banyak belajar dari sesama.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Inikah yang Kita Inginkan?

29 November 2013   23:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak ingin membahas mengenai masalah aksi solidaritas para rekan sejawat saya atau yang oleh masyarakt dan media dibilang demo dan mogok dokter. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya lihat di wall jejaring sosial saya hari ini.

Tadi siang ada salah seorang sejawat yang juga merupakan dosen pada salah satu Fakultas Kedokteran di Indonesia menyampaikan melalui statusnya bahwa salah satu bahasan dari rapat di fakultas yang diikutinya pada hari ini membahas tentang rencana penarikan para dokter residen dari fakultas kedokteran tersebut yang tersebar di RS jejaring di berbagai penjuru daerah. Hal ini tampaknya merupakan upaya untuk melindungi dan mencegah para dokter residen dari kemungkinan adanya tuntutan pelanggaran hukum seperti apa yang terjadi terjadi pada kasus yang saat ini menghebohkan di Indonesia, di mana salah satu yang dipermasalahkan adalah pelanggaran terkait surat ijin praktek (SIP) dokter residen, yang bahkan oleh beberapa media dijadikan sebagai topik utama

Dan hari ini juga, beberapa status dari sejawat di jejaring sosial menyampaikan bahwa beberapa Program Pendidikan Dokter Spesialis mulai menarik para dokter residen dari RS jejaring yang biasanya merupakan RSU tipe C (umumnya RSUD di kabupaten). Salah satu sejawat menyampaikan bahwa setahu dia para dokter residen yang ditugaskan di berbagai RSUD yang merupakan RS jejaring pendidikan memang tidak memiliki SIP (Surat Ijin Praktek) di RS Jejaring, melainkan hanya ada SIP di RS Pendidikan utama tempat mereka menempuh pendidikan dokter spesialis (contohnya FKUI dengan RSUPN Cipto Mangunkusumo, FK Unpad dengan RSUP Hasan Sadikin, FK Unair dengan RSUP Dr. Soteomo, dll).

Kemudian ada seorang direktur salah satu RSUD di wilayah Indonesia Timur yang mengkomentari status salah satu sejawat lain dengan menuliskan bahwa mulai hari ini di RSUD yang dipimpinnya, dokter spesialis bedah dan dokter spesialis kebidanan dan kandungan menolak melakukan tindakan operasi. Mengapa? Karena di RSUD yang dipimpinnya sudah tidak ada lagi dokter residen anestesi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan kegiatan anestesi selama operasi. Hal ini terjadi dikarenakan dokter residen anestesi yang ada telah ditarik dari RSUD oleh fakultas kedokteran yang mengirimkannya. Padahal setiap kegiatan operasi di ruang operasi memerlukan tenaga seorang dokter spesialis anestesi ataupun setidaknya dokter residen anestesi.

Lantas apakah dampak yang akan dapat terjadi? Bisa dibayangkan berapa orang pasien bedah dan kebidanan yang nyawanya bisa semakin terancam karena mereka tidak memperoleh pertolongan semestinya akibat tidak adanya kegiatan operasi yang dapat dilakukan hanya karena tidak adanya dokter residen anestesi yang membantu dokter spesialis bedah dan kebidanan di RS tersebut? Itu baru di satu RSUD. Belum lagi jika di RSUD yang memang selama ini belum memiliki tenaga dokter spesialis, melainkan baru hanya sebatas memiliki tenaga dokter residen dari program pendidikan spesialis bedah, anak, penyakit dalam dan kebidanan yang memang ditempatkan di sana. Ini berarti RSUD tersebut akan kehilangan tenaga dokter dengan kemampuan dan kompetensi spesialis.  Lantas siapakah yang dirugikan dengan penarikan para sejawat dokter residen tersebut?

Yang paling utama adalah tentu saja masyarakat yang berada di wilayah RSUD tersebut. Karena dengan tidak adanya dokter spesialis, maka itu berarti untuk memperoleh penanganan spesialistik maka mereka harus pergi ke RS lain yang memiliki tenaga dokter spesialis yang sesuai. OK, itu bukanlah persoalan yang besar jika di pulau Jawa atau Jakarta pada khususnya. Namun bagaimana dengan di daerah pelosok seperti di Indonesia Timur? Untuk masyarakat di daerah-daerah sperti itu, maka perjalanan menuju ke RS yang memiliki tenaga dokter spesialis bisa berarti sebuah perjalanan yang memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Belum lagi bagi masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan, katakanlah semisalnya berbagai kabupaten yang berupa kepulauan di Maluku dan Maluku Utara. Perjalanan melintasi laut untuk menuju RSUD terdekat saja bisa menjadi taruhan nyawa, tak cuma bagi yang sakit, bahkan bagi orang sehat sekalipun terutama ketika masa musim ombak timur dan musim ombak barat.

Bagi para dokter residen, hal ini juga akan merugikan mereka. Karena akan mengakibatkan jumlah mereka menumpuk di RS Pendidikan, sehingga kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan ketrampilan serta kemandirian jelas akan berkurang. Sedangkan ketika berada  di RSUD jejaring, mereka tak hanya melatih dan menambah pengetahuan dan ketrampilan, namun juga kemandirian.
Bagi pemerintah baik pusat maupun daerah, tentu saja juga akan dirugikan, karena akan terjadi penurunan mutu pelayanan kesehatan terhadap masyarakat karena semakin sulitnya akses masyarakat dan semakin tidak meratanya distribusi tenaga dokter dengan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan spesialistik seperti yang dimiliki oleh para dokter residen.
Inikah yang kita inginkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun