Mohon tunggu...
Roniko Pardede
Roniko Pardede Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara. Bergiat di Komunitas Veritas dan menjabat sebagai Ketua BPH periode 2013-2014.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Domba dan Cahaya Menuju Tengah Hari

21 Desember 2013   10:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:40 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com



Domba dan Cahaya Menuju Tengah Hari

Oleh: Roniko Pardede, FE Unika St. Thomas SU

Domba kecil ini memulai langkahnya dengan doa

Lantaran Ibunya pernah berkata, “Doa punya kuasa, Nak.”

Lalu angin bertiup memutar-mutar langit

Dan tampaklah sepasang telapak tangan memayunginya

Pula bumi berguncang, pelan

Dan lahir perapian mungil sebagai teman seranjangnya

Waktu berlari sprint

Domba kecil itu kini dewasa

Kakinya kokoh bak Tembok Besar China

Lengannya yang ringkih berevolusi sekeras Galuh

Domba kecil itu kini dewasa

Semakin besar dan luas

Tepinya tak terlihat

Dermaga jauh nun entah dimana

Tetapi …

Ketika sang Surya masih bangun dari ufuk timur

Ketika Merah Putih masih Indonesia

Bulu tak lagi seputih dulu

Bulu tak lagi seindah dulu

Ada lukisan pelangi yang norak di sana

Putih, hitam, coklat, abu-abu, biru lebam, hijau maya-maya, dan merah

Bayangkan!

Kasihan …, domba itu tersesat

Ia kepanasan …, ia kedinginan …

Kasihan …, domba itu galau

Adakah teman yang akan membawanya pulang?

Atau, adakah keluarga yang menanti-nantikan dia?

Kasihan …

Aku ingin bercerita tentang cahaya menuju tengah hari

Sinarnya sungguh tidak biasa, istimewah

Bila diandaikan, ia adalah secercah cahaya di tengah kegelapan

Ia adalah setetes air yang didoakan oleh Elia

Cahaya menuju tengah hari bermata elang

Tatapan jauh ke depan

Melewati gang-gang berliku

Menerobos jalan buntu dengan jalan yang baru

Cahaya menuju tengah hari bersifat agresif

Penuh kreasi, inovasi, dan energi mahatinggi

Duabelas jam satu hari tak lah cukup untuk bercerita

Tak mampu menampung semua isi di dalam tangannya

Duabelas jam satu hari, bukanlah waktu baginya

Sebab, ia tak mampu mewakili sebiji bibit untuk berbuah

Cahaya menuju tengah hari

Bertangan cekatan

Berkaki elegan

Bibir merah-merona

Sempurna …

Tapi … ingatlah ini

Senjata terkuat sekalipun memiliki jeratnya sendiri

Ketika ia tak terkendali

Ketika nurani di injak-injak logika

Nasibnya tak jauh berbeda dengan sang domba

Tersesat … dan kasihan

Komunitas Veritas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun