Mohon tunggu...
Roni Hendriko
Roni Hendriko Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Rudi Gracia, Roma, dan Gitar

7 Oktober 2013   12:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:53 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta Gitar
“Sepak bola adalah pertunjukan,” ujar Garcia berfilosofi. Maka itu, Gardcia selalu ingin mengibur penonton dengan permainan indah di lapangan. Bola selalu berada di rumput. Satu sentuhan, dua sentuhan, bola terus mengalir. Dan, ibarat orkestra,  Roma pun jadi begitu merdu di bawah Garcia, sang dirigen.

Kebetulan, Garcia sangat mahfum akan nada-nada harmonis dan sumbang. Itu lantaran dia juga sangat mencintai gitar, selain sepak bola. Instrumen musik enam senar itu menjadi sahabat setia Garcia di kala senggangnya.

Aksinya memainkan gitar sambil bernyanyi lagu berbahasa Spanyol “El Porompompero”, di ruang ganti Lille mendapat berbagai tanggapan, setelah diunggah lewat You Tube. Satu lagi kelebihan garcia yang membuat tifosi makin mencintainya.

Bukan Siapa-siapa
Garcia sendiri sebenarnya bukan murni Prancis. Keluarganya berasal dari Spanyol, Andalusia, tepatnya. Namun, Garcia menyebut, keluarganya sering mengunjungi kampung halaman nenek moyangnya itu dengan mengendarai mobil tua, Citroen 2CV. “Perjalanannya bisa mencapati tiga hari. Tapi kami senang bisa menikmati matahari dan udang sepanjang perjalanan,” ujar Garcia, seperti dikutip Le Journal de Dimanche.

Menariknya, Garcia tak memiliki rekam jejak bagus sebagai pemain. Meski sempat tampil di Ligue 1 bersama Lille, tetap seabgai pemain, Garcia bukanlah siapa-siapa. Apalagi, waktu Garcia di lapangan juga tak panjang. Pada usia 28 tahun, Garcia yang mengikuti jejak sang ayah, sebagai pemain, harus pensiun lantaran cedera.

Perofesi pelatih pun tak dia dapat dengan mudah. Bahkan, Garcia haurs mengawalinya sebagai pelatih fisik bersama Saint Ettiene di awal musim 2001/02. Baru bersama Dijon, yang dibawanya promosi ke Ligue 2, Garcia dipercaya sebagai pelatih kepala. Sampai akhirnya dia dipercaya melatih Le Mans di Ligue 1 pada musim 207/08.

Keberuntungan Garcia berlanjut saat dia ditunjuk melatih Lille menggantikan Claude Puel yang hengkang ke Lyon pada 2008.  Dia membawa klub tersebut jadi juara Ligue 1 dan Piala Prancis di musim 2010/11.

Kini, filosofi itu, yang mengantar Garcia juara bersama Lille dia bawa ke Roma. Memang, di Roma dia belum memiliki “Conseil des Sages”—sekumpulan pemain senior yang sering dia mintai penadapat—seperti di Lille. Namun, dengan kebintangan Francesco Totti dan bantuan pemain-pemain senior seperti De Rossi, Maicon, atau Federico Balzaretti, bukan tak mungkin Garcia membuat Roma seperti Lille: juara!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun