Mohon tunggu...
R_82
R_82 Mohon Tunggu... Wiraswasta - Adalah seseorang yang hidup, menghidupi dan di hidupkan OlehNya. Begitupun dengan kematian dan semua diantaranya. tanpa terkecuali.

Bukan sesiapa yang mencari apa dibalik mengapa dan bagaimana

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Kagumku untuk "Ayahanda" Loir Botor Dingit

11 Juni 2011   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:36 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_113725" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi Penanaman Pohon (Google)"][/caption]

Gerimis tak bertepi, awan menggulung hitam. Harapan cerah telah sirna ketika hujan turun membasahi. Dingin dan ketir menemani. Dalam keheningan alam yang telah serak bersuara. Karenaterlalu lama berteriak. Karena terlalu sering menangis lirih. Hingga dipenggal kepalanya bertubi-tubi.

Beberapa sanak family mereka terkapar. Mengering diantara bongkahan dan reruntuhan saudaranya yang lain. Membusuk tak terkubur, Berserak tiada arah. Dalam gersangnya kemarau panjang. Dalam genangan air dikala hujan. Semua tak terkendali lagi, tak senyaman seperti sebelumnya. Jauh dari keindahan yang pernah ada.

Dahulu mereka ramai berkunjung di pagi hari di tempat ini. Penduduk dengan beragam pakaian lusuh dan kotornya berkumpul. Dalam lembah yang alirkan beningnya air. Bermuara dengan kejernihan yang indah. Anak-anak kecil dengan riang gembira meloncat cipratkan air di wajah ibunya yang mencuci di tepi muara. Keruh air mulai terlihat, namun dengan sekejap mengalir. Digantikan bening yang tembuskan pandangan hingga ke dasarnya.

Kini semua tak ada lagi. Muara itu kering dan tak ada lagi air yang mengisinya kembali. Entah kemana berpindahnya sumber kehidupan itu? Kenapa lubang-lubang itu seakan lelah mengeluarkan air seperti sebelumnya.

Gemuruh suara binatang telah lama hilang. Kerena tempat rindangnya telah terusir mimpi. Karena tempat berteduhnya telah lama diganti harapan. Mimpi itu adalah keinginan mereka yang memperkaya diri. Harapan itu adalah wujud kerakusan penguasa. Dengan segala cara demi kepentingan bersamannya, walau jeritan alam terdengar kian memekik. Mereka tetap gagah perkasa. Menerjang halangan yang ada. Tak peduli siapapun yang menghadang. Mengamuk membabi buta.

Penghuni kampung menangis lirih. Penguasa Hutan meraung kesakitan. Semua tak berdaya melawannya. Semua tak ada yang bisa menahannya. Pengrusakan itu adalah titah sang raja baru yang berkuasa. Surat demi surat penegas kekuasan bersama mereka, yang robohkan pohon-pohon besar ditengah hutan. Perintah itu tak bisa dihindari lagi, karena keberadaan mereka tidak melanggar apapun dalam aturannya. Semua bebas membantai. Semua halal menghancurkan.

****

Penghuni kampung kini berkumpul di halaman. Beberapa suara mulai terdengar bergumam. Tentang kesakitan mereka, tentang kepedulian mereka. Kekuatan-kekuatan kecil mulai mereka kumpulkan. Demi melawan raksasa kejam yang kian hari semakin mengganas. Tibalah mereka dalam perkumpulan yang banyak berbisik dari telinga ke telinga yang lain. Tentang seseorang yang dipercaya, kepada seseorang yang bisa membawa titik terang.

Kesediaan dia yang diharapkan itu disambut dengan riang gembira. Keberanian dia yang menjadi tumpuan semua itu,dipenuhi ratapan harap dari seluruh penghuni kampung. Pandangan mereka seakan memelas meminta pertolongan, agar bisa menghentikan bencana demi bencana yang kian hari semakin menyakitkan.

Kepercayaan dan harapan yang berkumpul itu kini semakin membesar. Dengan cepatnya menyatu menjadi sebuah kekuatan besar. Menjulang tinggi berupa gunung. Dengan perkasa siap memberikan perlawanan.

Namun apa hendak dikata? Sebuah Gunung yang menjulang tinggi itu harus menghadapi ratusan gunung yang lebih tinggi. Dengan kekuatan seribu kali lebih besar darinya. Tinggalah keteguhan itu yang dipertanyakan. Siapa yang akan mengendalikan, dan siapa yang hendak menjadi penyangga semua harapan dan dukungan penghuni kampung.

Pemangku adat, pengemban kekuatan. Dengan pakaianputih dan bersih siap menerima semuanya. Apapun yang hendak dideritanya ia katakan tak takut lagi. Mati dan hancur lebur pun dia ungkapkan tak akan menyesalinya. Karena kampung ini miliknya. Karena hutan itu tempatnya terlahir. Demi sebuah harapan yang lama tertunda. Untuk mengembalikan alam kepada masa kejayaanya.

Ditengah kerumunan itu dia berteriak. Dalam sekian gumam penghuni kampung dia bersuara. Tegas dan lantang dengan semangat yang membara. Pandangan matanya bersinar terang. Pertanda keteguhan hati yang kian mambaja.

“Aku ada disini. Aku akan selalu ada disini. Biar mereka merajahiku dangan segala penderitaan.Aku akan selalu serukan semua kebenaran. Karena pengrusakan itu tak bisa lagi dibiarkan. Hingga leherku terputus. Ketika aku tak bisa bernafas lagi. Saat itulah aku akan berhenti menyuarakannya”

****

Sejak suara ditengah kerumunan itu terdengar. Kini perlawanan itu telihat gencar dilakukan. Satu demi satu kebohongan terungkap. Helai demi helai kesalahan dibeberkan dalam khalayak ramai. Penghuni kampung, warga hutan dan peduduk desa semakin terbuka matanya. Bahwa mereka memiliki kekuatan yang berupa kebenaran.

Hari demi hari yang dilakukan penuh perlawanan itu mulai tercium sang penguasa besar. Raksasa itu mulai terusik dengan semut-semut yang teguh dalam perjuangannya. Menjadi duri yang tak bisa dia hindari lagi. Jalan mulusnya seakan dihalangi kerikil-kerikil kecil yang tajam. Hingga raksasa itu mulai melakukan aksi pembalasan.

Dari sekian hari yang dirasakannya, raksasa itu kini mulai geram. Semut kecil itu tak juga menyingkir. Dan dengan segala kekuatannya kini dia mulai melakukan serangan yang kian tajam. Menghunus dari berbagai sisi. Menerjang dari beragam arah. Hingga perlawanan kecil itu dapattersudut dalam meja peradilan sang raja adil. Konon katanya, itulah raja adil yang kebijakannya diakui seadil-adilnya. Entah siapa yang memilih. Entah sejak kapan raja adil itu hadir dan bisa mengadili semuanya.

“Kenapa kita yang jadi salah?”

“Kenapa kami yang jadi terdakwa?”

“Kenapa perlawan kami yang akan merima hukuman?”

“Kenapa mereka yang menjajah dan merusak yang menuntut kami yang tak berdaya ini?”

“Kenapa kami yang teraniaya ini yang menjadi tersangka?”

Begitulah beragam pertanyaan penduduk desa dalamobrolannya, disaat menunggu peradilan digelar. Berjuta pertanyaanpun mulai menyeruak. Wabah diantara kepala-kepala yang telah disesaki rasa sakit dan penderitaan sejak lama. Seandainya sang raja adil itu tau, bahwa sejak 29 tahun yang lalu kami dianiaya. Bahwa sejak tahun 1982 itu mereka mulai merajahi kami dengan berbagai upaya pengrusakan. Lantas kenapa kini kami yang disalahkan? Dan mereka yang memporak porandakan hutan kami ini menjadi sosok yang telah kami khianati? Dimana kesalahan kami sebenarnya?.

****

Derita belum juga usai, perjuangan mereka dihadapkan berbagai rintangan. Dengan berbagai upaya, pengusaha berwatak tamak melakukan aksinya dengan tipu daya. Dengan mengandeng tangan penguasa, pengusaha itu tak menghiraukan teriakan dan jeritan dari dalam hutan. Semua yang hidup rasanya dibabat dengan biadab bahkan keadilan Tuhan pun dihujat.

Entah kemana mereka mencari kebenaran dan keadilan. Yang diharapkan ternyata bermuka dua dan menikam mereka dari belakang. Hukum dipelintir bahkan sesama pemuka adat diadu domba, yang seharusnya menjadi teman kini mejadi lawan.

Pemimpin daerah yang seharusnya diharapkan menjadi payung masyarakat, hanya bisa berjanji kosong belaka. Rakyat bukanya dibela, hutan bukannya dipelihara, malah dibiarkan dilahap pengusaha berwatak jahat. Entah mengapa pemimpin itu harus menyerah tanpa syarat, padahal memiliki kekuasaan adat yang cukup membuat perlawanan kuat. Mungkin karena takut kehilangan rakyat dihianati begitu saja.

Belum cukup juga mereka ditipudan dihadang dengan hukum yang memihak. Intimidasi pun dilakukan secara berlebihan. Mereka yang tadinya tidak mengenal pengadilan, harus dipaksakan tanpa mengerti maksud dan tujuan. Hukum yang seharusnya berdiri tegak dan membela yang benar, kini menjadi milik mereka yang punya kuasa. Entah dimana lagi mereka harus mencari kebenaran, selalu dipertanyakan dan membuat semangat pupus dalam pergerakan.

Perjalanan panjangpun harus mereka lalui, masuk keluar kantor polisi untuk diinterogasi. Bahkan sampai di rumah harus menerima berbagai terror yang semakin menjadi-jadi.

***

Melihat semua ketidakberdayaan rakyat yang meratapi hutan yang dibabat, bahkansampai jejak nenek moyangpun dilindas dan dihancurkan. Kepala suku yang disapa dengan sebutan “Ayahnda”, yang telahmengawali perjuangan bersama rakyat,tidak takut dan gentar.Ia terus meneriakan kebenaran untuk keadilan. Walaupun harus diseret ke pengadilan dengan tuduhan yang direkayasa pengusaha dan penguasa.

Dengan menghimpun berbagai kekuatan baik internal maupun eksternal. Teriakannyaternyata menggema dan berhasil mendapat dukungan baik dari elemen masyarakat negaranya sendiri, maupun dari pelosok dunia. Tak ayal lagi, semua mata tertuju padanya. Pada awalnya ia dikenal sebagai pejuang lingkungkan, namun kemudian menjadi simbol perlawanan ketidakadilan dan kemanusiaan. Melalui dukungan dari berbagai pihak, Ayahnda semankin kokoh menyulut api semangat juangnya.

Nyayian kebenaranya akhirnya membuahkan hasil yang menjanjikan untuk memenangkan perlawanannya. Sebuah pengakuan masyarkat internasional terhadap dirinya. Ayahnda dianugerahi penghargaan bergengsi lingkungan hidup internasional pada tahun 1997.

Penghargaan yang diterima itu ternyata memberikan tekanan kepada penguasa dan penegak keadilan. Akhirnya Setahun kemudian ia diputuskan tidak bersalah oleh pengadilan. Sebuah kemenangan gemilang untuknya, sebuah kemenangan untuk masyarakat adat yang dicintainya. Hutan akhirnya kembali dapat mereka jaga, walau perjungan masih harus tetap dilanjutkan.

Satu babak sejarah telah ditoreh Ayahndabagi kita semua, bukan untuk dikenang namun untuk dilanjutkan. “Kalian mungkin mampu membungkam genderang dan kalian dapat melonggarkan tali kecapi. Namun katakan, siapakah yang dapat menghalangi burung pipit bernyanyi ?” Katanya memberikan inspirasi, yang membakar semangat anak cucu negeri ini. Untuk tetap menegakan kebenaran dan keadilan yang hakiki.

--oo0oo--

Terinspirasi dari kisah perjuangan “Ayahanda” Loir Botor Dingit

--oo0oo--

Penulis : R-82Vallentino Nomor peserta: 199 NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun