Panggung politik balai kota DKI Jakarta nyaris tak sepi dari sorotan publik. Kepiawaian Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (Anies), dalam memainkan monolog politiknya terbilang gregetan. Setiap monolog politiknya selalu memancing ragam interpretasi dan perdebatan publik. Â
Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di pulau Reklamasi, yang lagi hangat dipergunjing publik belakangan ini, bukanlah "kasus" pertama bagi Anies. Coba anda simak kembali ceramahnya dulu, di jelang pilgub DKI Jakarta 2017, tentang "Sunnah Nabi dan air yang mesti dimasukkan ke dalam tanah - dan bukan dialirkan ke laut". Atau argumennya tentang "fungsi trotoar dan pedestrian sebagai penyebab kemacetan."
Atau yang lainnya, misalnya, analisa Anies tentang "sebab musabab banjir di ibu kota merupakan banjir kiriman dari wilayah luar Jakarta" di musim penghujan kemarin. Atau anda juga bisa membongkar kembali serial fenomenal "rumah susun atau rumah tapak dengan DP 0 %,"dll.
Dari beberapa sampel kasus di atas, setidaknya publik bisa paham tentang panggung monolog politik Sang Gubernur di Balai Kota. Monolog dari sudut pandang tertentu dimengerti sebagai seni pentas teater one man show dengan satu atau beberapa peran sekaligus. Seni peran ini bisa berupa drama horor atau komedi. Di dalamnya, sang aktor tunggal menampilkan kemahirannya untuk menciptakan polemik tesis dan anti tesis - atau memerankan peran antagonis dan protagonis - secara rapih.
Bangunan statemen dan kebijakan politik Anies, setidaknya berdasarkan beberapa sampel kasus di atas, tampaknya cenderung negasif dan simultan. Dan cukup konsisten. Kalau saja asumsi ini benar, maka - sebut saja - "problem politis" ini cukup layak untuk diperbaiki. Sebab masa kepemimpinan Anies sebagai gubernur di ibu kota sudah terbilang cukup, hampir dua tahun. Juga, balai kota DKI Jakarta bukanlah panggung seni teater.
Lantas, apa hubungannya dengan narasi Monolog Anies di Panggung Balai Kota? Keterpilihan Anies sebagai gubernur tidak menjadikannya sebagai pemilik tunggal kekuasaan di Provinsi DKI Jakarta. Dengan kata lain, kontrol kebijakan untuk memajukan atau memundurkan daerah ibu kota tidak sepenuhnya ada di bawah kendali Anies.
Faktum dilematis ini bisa kita konfirmasi dengan beberapa kebijakan yang sudah atau sedang diorbitkan Pemprov DKI Jakarta. Sebut saja misalnya, undangan ceramah kelompok-kelompok - sebut saja - ex HTI di balai kota, atau soal alihfungsi jalan Jatibaru untuk PKL di tanah abang dulu, atau perubahan penggunaan kawasan Monas, atau penutupan kali Sentiong dengan jaring kali lalu, dll.
Konsep dari kebijakan-kebijakan out of the box di atas, hemat saya, cukup jauh dari jangkauan pemahaman atau penguasaan Anies selaku eksekutor plus pimpinan di DKI Jakarta. Akhirnya, sebagai pembelaan - demi mepertahankan citra diri - Anies kemudian berusaha bergerak dari satu monolog politik ke monolog politik yang lainnya dan atau dari panggung seremonial yang satu ke panggung seremonial yang lainnya tanpa satu simpul yang jelas, tetap dan mengikat.
Mengapa bisa demikian? Hemat saya, disposisi dan pretasi kerja politik Anies kurang lebih menjadi biang pemicunya.
Pertama, soal disposisi politik. Anies bukanlah orang partai politik (parpol). Relasi antara Anies dan parpol pendukung adalah relasi simbiosis mutualis. Dan bukan relasi - sebut saja - rekan se-parpol. Karena itu, kepentingan parpol pengusung, termasuk rong-rongan parpol oposisi, di DKI Jakarta punya power yang cukup untuk menggerus daya tawar Anies selaku "penguasa" ibu kota.
Kedua, soal prestasi kerja. Anies mungkin berprestasi dalam inovasi nama. Misalnya, nama RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) ke Taman Maju Bersama. Atau OK OTrip ke Jak-Lingko. Atau nama stasiun MRT Sisingamangaraja ke stasiun ASEAN. Namun itu belum cukup untuk mengangkat derajat track record politik Anies. Juga Skybridge di Tanah Abang, atau Monumen Bambu dan Pelican Crossing di Bundaran HI belum mampu sepenuhnya mempertebal moral prestasi kerja Anies. Di pihak yang lain, macetnya program unggulan semisal naturalisasi sungai, OK OCE dan rumah DP 0 % turut memperlemah derajat track record Anies dalam politik.
Tanpa usaha untuk keluar dari problem dasar ini, (1) lemahnya disposisi politik dan (2) seretnya prestasi kerja, Anies selamanya akan terus di/terpaksa manggung dari panggung seremonial yang satu ke panggung seremonial yang lainnya dengan peran monolog politiknya. Atau boleh jadi, (problem ke-3) sense of belonging Anies atas DKI Jakarta tak begitu kuat mengakar (?!) Â Â Â Â Â Â
Sebagai kesimpulan, saya lampirkan catatan Benjamin Whichcote (1609-1683). Benjamin Whichcote menulis, "di antara politisi, harga agama adalah menguntungkan; prinsip-prinsip itu merepotkan." Soal agama, patut diakui Anies punya kualitas super. Namun soal keteguhan prinsip untuk merealisasi konsep besar "Maju Kotanya, Bahagia Warganya", kita perlu realistis bahwa itu membutuhkan perubahan dan perbaikan. Dengan kesadaran dan jalan pembaharuan ini, saya yakin, jualan politik Anies bisa menjangkau pula pasar-pasar publik non radikalis. Wasalam (bagas de')
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H