Mohon tunggu...
Rona Sandro
Rona Sandro Mohon Tunggu... Penulis - Maritime Enthusiast - PT PAL Indonesia

Penikmat Kopi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Mengukur Kekuatan Maritim Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan

30 Mei 2024   00:14 Diperbarui: 30 Mei 2024   00:26 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: CRS Report, Januari 2024)

Sebagai negara kepulauan, membangun kekuatan pertahanan dan keamanan laut Indonesia adalah mandatory. Konflik di Laut Cina Selatan/LCS adalah contoh nyata pelanggaran kedaulatan yang tidak bisa dihindari. Konflik ini menyeret Indonesia karena wilayah Laut Natuna Utara masuk dalam Nine Dash Line yang diklaim oleh Cina sebagai wilayahnya.

Selain diplomasi, langkah yang dinilai efektif dan berdampak langsung untuk menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara adalah dengan memperkuat armada pertahanan dan keamanan laut.

Merespon isu kedaulatan di Laut Natuna Utara, Pemerintah harus fokus pada penguatan Alutsista TNI AL dan Bakamla. Selain dinilai mumpuni dari aspek teknis, TNI AL dan Bakamla diakui secara internasional sehingga memiliki ruang lebih luas dalam aspek diplomasi maritim. Secara peraturan, hanya TNI AL dan Bakamla yang memiliki kewenangan penegakan hukum sampai wilayah perairan di atas 200 NM dari garis pantai. Jika TNI AL berperan dari pendekatan militer maka Bakamla dari pendekatan sipil.

Kondisi Alutsista TNI AL dan Bakamla saat ini masih jauh dari ideal. Terlebih untuk menjaga wilayah laut Indonesia yang sangat luas.

TNI AL saat ini memiliki sekitar 240 kapal yang terdiri dari berbagai jenis, ukuran dan kemampuan operasi. Alutsista TNI AL sebagian besar didominasi oleh kapal perang dengan panjang kurang dari 100 meter, hanya beberapa kapal saja yang memiliki panjang di atas 100 meter. TNI AL saat ini tidak (belum) memiliki kapal perang dengan panjang lebih dari 130 meter. Selain itu, kondisi Alutsista TNI AL sebagian besar sudah berusia tua (lebih dari 60% berusia di atas 25 tahun). Tentu kondisi ini menjadi tantangan bagi TNI AL dalam menjalankan operasinya. Salah satu Alutsista TNI AL yang saat ini aktif beroperasi dan dinilai paling canggih adalah KRI Raden Eddy Martadinatas 331 Class (Light Frigate) dengan panjang 105 meter. Selain itu, kekuatan TNI AL di-support oleh 4 kapal selam tipe U209 yang terdiri dari 1 unit (KRI Cakra 410) buatan Jerman dan 3 unit (Nagapasa Class) buatan Indonesia bekerjasama dengan Korea Selatan.

Kondisi armada Bakamla, sebagai Indonesian Coast Guard, bisa dibilang sangat jauh dari ideal. Bakamla saat ini hanya memiliki 33 armada dalam melaksanakan keamanan di seluruh wilayah laut Indonesia. Armada yang dimiliki Bakamla terdiri dari 1 unit Kapal Tanjung Datu Class (panjang 110 meter), 3 unit kapal patroli Pulau Nipah Class (panjang 80 meter), 6 unit kapal Bintang Laut Class (panjang 48 meter), 8 unit CAT, 10 unit RHIB, 4 unit HSC, dan 1 unit pesawat patroli (fixed wing).

Jika dibandingkan Cina, kondisi Alutsista TNI AL dan Bakamla memiliki gap yang sangat jauh.

Cina saat ini dinobatkan sebagai negara dengan Angkatan Laut terbesar di dunia mengalahkan Amerika Serikat. Angkatan Laut Cina (People's Liberation Army Navy/PLAN) memiliki sekitar 370 kapal (tidak termasuk Houbei-Class Patrol 60 meter). Diperkirakan jumlah kapal perang Cina akan terus bertambah menjadi 395 kapal di tahun 2025 dan 435 kapal di tahun 2030 (jumlah ini melebihi kapal milik US Navy). Kapal yang dimiliki PLAN terdiri dari berbagai ukuran dan tipe seperti Kapal Induk, Kapal Selam (nuklir dan diesel elektrik), Destroyer, Frigate, Corvete, Offshore Patrol Vessel (OPV), Mine Warfare, dan Aphibious Assault.

China Coast Guard/CCG setidaknya memiliki sekitar 400-600 kapal dengan berbagai tipe dan ukuran mulai dari 200 ton sampai dengan 12,000 ton. Kapal terbesar yang dimiliki CCG saat ini yaitu Zhaotou class, memiliki panjang 165 meter berbobot 12.000 ton dengan kecepatan sampai 25 knot. Bahkan kapal tersebut dilengkapi dengan senjata layaknya kapal perang. Motif operasi CCG di LCS adalah dengan berlayar tidak jauh dari kapal-kapal nelayan Cina yang melakukan aktivitas ilegal di perairan Indonesia.

Kekuatan angkatan laut Cina tidak lepas dari peran galangan-galangan yang tergabung dalam China Shipbuilding Industry Corporation (CSIC). CSIC merupakan perusahaan galangan kapal nasional yang terdiri dari beberapa galangan di wilayah Dalian, Tianjin, Wuhan, Xi'ian, Chongqing dan Kunming. CSIC terdiri dari 96 perusahaan yang berlokasi di Cina Utara, dan mempekerjakan lebih dari 170.000 orang, melibatkan 28 lembaga penelitian dan enam laboratorium yang menjadi pusat pengembangan kapal serta peralatan terkait lainnya.

Jika melihat Indonesia, jumlah industri galangan kapal di Indonesia ada sekitar 250 galangan. Dari 250 galangan tersebut, sebagian besar berlokasi di wilayah Batam dan diperkirakan hanya sekitar 160 galangan yang memiliki kapasitas dalam pembangunan kapal baru. Dari populasi tersebut, hanya sekitar 6 galangan yang memiliki kemampuan memproduksi kapal dengan ukuran besar (10.000-50.000 DWT). Tidak semua galangan di Indonesia mampu dan berpengalaman dalam membangun kapal perang. Galangan kapal perang tidak bisa disamakan dengan galangan kapal lainnya/kapal niaga. Hal ini karena galangan kapal perang harus memenuhi standar infrastruktur yang mendukung pembangunan kapal perang yang dilengkapi dengan sensor, weapon & command control (Sewaco).

Untuk pembangunan kapal selam, di Indonesia saat ini hanya galangan PT PAL Indonesia yang memiliki fasilitas produksi dan pemeliharaan kapal selam. Fasilitas kapal selam ini merupakan fasilitas yang dibiayai oleh APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa kapasitas galangan kapal nasional saat ini masih sangat kecil khususnya untuk pembangunan kapal baru dengan ukuran besar.

Pentingnya Penguasaan Teknologi Pertahanan

Anggaran menjadi penyebab utama masih lemahnya pertahanan dan keamanan di Indonesia. Anggaran pertahanan Indonesia sampai saat ini masih dibawah 2% dari PDB. Menurut beberapa ahli anggaran pertahanan yang ideal untuk Indonesia ada di angka 1,8% - 2,0%. Selain nilai anggaran, perlu dilihat juga komposisi alokasi anggarannya. Mengutip Boston Consulting Group (BCG) tahun 2021, komposisi anggaran pertahanan Indonesia sebagain besar dialokasikan untuk belanja pegawai sebesar 62%, studi pertahanan/R&D 14%, dan 24% untuk modernisasi Alutsista dan Pemeliharaan.

Penguatan pertahanan dan keamanan melalui modernisasi Alutsista penting dilakukan. Modernisasi harus memiliki arah dan roadmap jangka panjang yang jelas dan tidak berubah-ubah. Salah satunya terkait penentuan spek teknis dan strategic partner. Pemerintah harus meng-"kontrak" strategic partner dalam jangka waktu yang diperlukan untuk diserap teknologinya. Penguasaan teknologi pertahanan memerlukan waktu yang lama bersamaan dengan durasi pekerjaan proyek. Transfer of Technology (ToT) yang diberikan oleh strategic partner merupakan proses paling efektif dalam penguasaan teknologi. Sebagai contoh, Turki dan Korea Selatan adalah negara yang berhasil menguasai teknologi kapal selam bekerjasama dengan Thyssenkrupp Marine Systems (TKMS), Jerman. Kunci keberhasilan Turki dan Korea Selatan adalah kepastian kontrak dan strategic partner jangka panjang. Turki berhasil menguasai teknologi kapal selam bekerjasama dengan TKMS setelah memproduksi 20 unit kapal selam. Sedangkan, Korea Selatan berhasil menguasai teknologi kapal selam dengan TKSM setelah memproduks 18 unit kapal selam. Artinya, pengadaan Alutsista harus ada continuity.

(Sumber: TKMS, 2021)
(Sumber: TKMS, 2021)

 

Apa Yang Perlu Dilakukan?

Hegemoni Cina di LCS tidak bisa dihindari. Sebagai non-claimant states, Indonesia perlu fokus menjaga Laut Natuna Utara dari ancaman kedaulatan negara lain. Menanggapi hal tersebut, perlu disiapkan langkah-langkah strategis agar kepentingan nasional Indonesia di LCS tidak terganggu.

Pertama, memperkuat pertahanan dan keamanan di laut khususnya di Laut Natuna Utara. Meningkatkan anggaran pertahanan khususnya untuk modernisasi Alutsista dan biaya operasional/patroli TNI AL penting dilakukan. Penguasaan teknologi pertahanan adalah hal penting dan dan bersifat fundamental sehingga perencanaan dan roadmap jangka panjang harus menjadi perhatian serius. Arah penguasaan teknologi pertahanan kedepan serta penentuan strategic partner selaku pemilik teknologi harus disiapkan dengan matang. Selain itu, Bakamla sebagai Indonesian Coast Guard harus mendapat dukungan dan segera diputuskan agar tidak ada ketimpangan dan tumpang tindih dalam hal kewenangan penegakan hukum di laut.

Kedua, pembangunan infrastruktur maritim di Natuna. Pembangunan infrastruktur maritim seperti dermaga, pelabuhan, galangan kapal, pusat logistik dan lainnya memiliki peran strategis di negara kepulauan seperti Indonesia. Infrastruktur maritim tidak hanya berfungsi untuk menopang kepentingan ekonomi tetapi juga kepentingan pertahanan dan keamanan.

Ketiga, Diplomasi maritim. Diplomasi maritim dilakukan untuk menjaga kepentingan Indonesia dikawasan. Politik netral Indonesia yang selama ini digunakan dalam upaya penyelesaian konflik LCS tampaknya belum membuahkan hasil.

Jika politik netral tidak berdampak pada kepentingan nasional Indonesia di LCS, mungkinkah Indonesia merubah sikap politiknya terhadap Cina atau Amerika Serikat di LCS? Apabila iya, mampukah perubahan sikap politik tersebut membuat pertahanan dan keamanan maritim Indonesia menjadi lebih baik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun