Mohon tunggu...
Rona Riyya Rifqi
Rona Riyya Rifqi Mohon Tunggu... -

menuai karya dan prestasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Otoritarian

28 April 2015   09:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:36 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanganku bergetar memandang wajah dalam foto itu, wajah dengan penuh kehangatan. Air wajahnya mengisyaratkan ketegaran, namun tak banyak orang yang melihat bahwa dibalik senyumnya ada kesedihan yang menghujam bertahun-tahun lamanya, menggerogoti tubuh ringkihnya, merampas kebahagiaan kami.

Iya, kami.. keluarga yang seharusnya menjadi sandaran, menjadi sumber kekuatan, yang dapat menjadi selimut kehangatan dalam kebersamaan. Menjadi neraka yang selalu membuatku tak pernah ingin pulang.

Aku membenci ayahku sendiri, naas bukan? Tapi itulah kenyataannya. Dia mengatur segala sesuatu atas kehendaknya sendiri, tanpa pernah sekalipun meminta pendapat kami, bahkan ibuku, ibu tak pernah berdaya untuk membuka suara hatinya. Apakah ia baik-baik saja dengan cara diktator dan otoriter ayah? Apakah ia bahagia dengan sikap ayah yang selalu dan selaluu seperti itu? Apakah ia setuju atas cara ayah dalam mendidik kami? Tidak! Ayah tidak pernah berdiskusi pada ibu, ia menganggap semua orang di sekitarnya adalah robot yang bisa ia atur sesuka hatinya.

Kami 7 bersaudara, dan aku adalah anak ke 6, jarak umurku dengan ke 5 kakak ku terpaut jauh, dan mereka juga sangat membenci sikap ayah. Bahkan kakak tertuaku sudah 2 kali bercerai karena pernikahannya hasil dijodohkan ayah, ke empat kakakku sudah pergi jauh untuk bersekolah.

Yah.. orang-orang hanya melihat dari luar, kami keluarga yang harmonis, penuh kehangatan dan kebersamaan, anak-anak ayah sudah banyak yang sukses dan bersekolah di luar negeri, namun pada kenyataannya mereka hanya ingin pergi dari rumah, sejauh mungkin. Mereka hanya tak tahan dengan sikap ayah, daripada menanak hati dengan kebencian yang semakin legam, sebaiknya pergi. Itulah yang dipikirkan kakak-kakakku.

Ayah seringkali memukul kami, bahkan bila pegawai yang bekerja di toko sembako melakukan kesalahan sepele. Bukan hal tabu bila ibu menangis di depan kami, membuat kopi dengan takaran yang kurang pas saja sudah cukup membuat kepalan tangan ayah melayang di dahi ibu. Luka-luka lebam di tutup ibu dengan makeup yang sedikit tebal, beliau wanita yang sangat luar biasa, wanita yang sangat amat kucintai karena kasih sayang dan ketegarannya. Meski berulang kali aku memintanya untuk pergi dari rumah, ibu selalu berkata dengan sabar, “nak, jangan seperti itu.. ayah akan kesepian bila kita pergi, nanti siapa yang membuatkan kopi untuknya?” aku terus menangis dan menangis menatap luka lebam dan lelehan darah ibu, ibu juga sellau berujar padaku, “sudah nak, ibu tidak apa-apa, anak lelaki ibu tidak pernah menangis, anak lelaki ibu selalu kuat dan hebat! Sekarang masuklah ke kamarmu,” seperti itu yang membuatku sangat mencintai sososknya.

Aku dan kakak-kakak sering bertukar surat, mereka menanyakan kabar ibu tanpa menanyakan kabar ayah. Namun ada kabar yang di suatu pagi membuat kami heboh, kakak perempuanku yang sedang menuntut ilmu di Inggris hamil, dengan pacar bulenya, dan kakak keduaku meninggal karena obat-obatan terlarang, ia overdosis. Kabar yang membuat ibu langsung pingsan seketika. Ayah begitu murka dan memerintah mereka pulang ke Indonesia, kabar tak sedap itu begitu cepat menyebar, dan mencoreng muka ayah yang dikenal sangat terhormat itu. Ia menjadi semakin kasar, semakin bertindak sesuka hatinya hingga kami semua pergi meninggalkannya sendiri, meninggalkannya bersama kebencian yang mendidih di hati kami, kebencian yang sudah tertanam bertahun-tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun