Mohon tunggu...
Ronald Anthony
Ronald Anthony Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Hanya seorang pembelajar yang masih terus belajar. Masih aktif berbagi cerita dan inspirasi kepada sahabat dan para mahasiswa. Serta saat ini masih aktif berceloteh ria di podcast Talk With Ronald Anthony on spotify.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saturday Morning #77 - "Gaya Hidup Minimalis dan Pelit?"

12 Desember 2021   12:50 Diperbarui: 12 Desember 2021   12:53 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin, sekitar dua hari yang lalu saya menemukan sebuah tulisan diantara story-story teman teman saya, Tulisannya sederhana sekali dengan sebuah gambar orang duduk dan disertai tulisan "Lebih cepat belum tentu lebih baik". 

Makin dipikir dan makin direnung, kok rasanya ada benarnya hal ini, tidak salah, orang selama ini menganggap sesuatu yang cepat itu pasti baik. Padahal belum tentu seperti itu.

Ambil saja contoh, kalau ada acara, lebih baik datang keawalan dibanding harus terlambat, memang si betul maksudnya disini on time, tapi belum tentu lebih cepat artinya lebih baik, bisa jadi malah karena keawalan, yang membuat si penyelenggara acara kewalahan karena belum siap 100% dan segalanya. 

Coba anda ingat, waktu anda kecil dan ketika sedang makan, apabila anda tahu itu jam nya film kartun kesukaan anda atau jam nya anda bermain pasti anda akan terburu-buru untuk menyelesaikan makan, bahkan bisa jadi tanpa dikunyah. Lalu diingatkan oleh orang tua anda untuk pelan-pelan dalam makan. 

Sebenarnya tidak hanya pada saat makan saja, ketika anda sedang terburu-buru ke suatu tempat pun pasti anda akan memacu kendaraan anda di kecepatan penuh agar cepat sampai di tujuan. 

Pada dasarnya itu adalah naluri alamiah manusia ketika sedang terburu-buru maka relatif akan melakukan segala sesuatu dengan cepat. 

Isyarat segala sesuatu dengan cepat, tidak hanya pada tindakan manusia saja, saya ambil contoh saja, ada orang yang mengatakan, wah tinggal di Kota Jakarta, rasanya semua cepat ya.

Lalu kalau anda baca tulisan saya beberapa minggu yang lalu, waktu saya mampir ke jogja, wah rasanya waktunya melambat, jam demi jam, detik demi detik dilalui dengan slow, pelan dan mengikuti ritme nya.

Tapi kembali ke Pontianak, semua kembali terasa cepat, apa saja rasanya diburu waktu, 24 jam rasanya tidak tuntas untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di depan mata. 

Bersyukur sih harus, bahwa kita masih diberikan kenikmatan untuk bekerja dan memperoleh pekerjaan, tapi seiring dengan itu stress semakin meningkat. 

Sebagian besar dari kita rasanya telah menyadari bahwa kesibukan aktivitas yang menjadi ciri kehidupan pada masa pandemi ini terasa sangat melelahkan, semua online. 

Walaupun ada beberapa yang mesti diselesaikan secara offline, tapi tetap saja online membuat rasanya segala sesuatu semakin bertumpuk. 

Maka ketika weekend, mungkin inilah awal mula kemalasan dimulai, ngomong-ngomong soal offline, kampus saya sudah mengadakan survey untuk persiapan mengadakan pembelajaran secara offline pertengahan tahun depan, hasilnya tentu sudah bisa ditebak, hampir 83% menyatakan belum mau mengikuti kuliah offline, tapi diantara itu semua ada satu alasan dari mahasiswa yang membuat saya tertarik dengan jawabannya, "Karena di Masa Online begini sir, hidup saya jadi minimalis" What? Minimalis? Bentuk Rumah kah? ternyata bukan, minimalis adalah sebuah sebutan untuk gaya hidup millenial sekarang.

Saya mungkin menyadari itu, ketika sekitar beberapa hari yang lalu, membaca artikel soal Marie Kondo yang di dalam kurun waktu dua tahun terakhir ternyata sangat populer dengan pesan-pesannya. 

Pesannya adalah untuk menyederhanakan hidup dengan membersihkan segala sesuatu dan berkompromi dengan suasana waktu. 

Mungkin kalau disederhakan menjadi Low Living. Dan ternyata dalam beberapa tahun terakhir banyak yang mengambil langkah-langkah berani tersebut untuk menghindari segala keramaian dan menarik diri dari kehidupan dan aktivitas yang serba tergesa-gesa dan tidak terkendali.

Maka tidak jarang anda bisa melihat ada yang sudah sukses sekali, kemudian menarik diri guna  mengatur ulang karier, memindahkan hidupnya, dan bahkan ada yang coba untuk mematikan teknologi. 

Di Italia sudah dimulai, salah satunya adalah dengan memulai mengganti makanan Fast Food dengan makanan tradisional. Dan kebanyakan di masyarakat Italia mengubah gaya hidup yang lebih lambat untuk aspek kehidupan sehari-hari . Tujuannya adalah untuk menciptakan ruang bagi kenikmatan hidup secara lebih sadar.

Maka sebetulnya, jika kita menyamakan sifat kehidupan kita yang serba cepat saat ini, bisa kita samakan mohon maaf dengan penyakit kanker — pertumbuhan sel-nya yang cepat dan tidak terkendali — kehidupan yang lambat menganjurkan kembalinya ritme kehidupan yang serba alami dan perlahan.

Keliatannya mungkin mudah dari yang Anda pikirkan, tapi nyatanya sulit, orang yang menggunakan gaya hidup minimalis, tentu lebih punya banyak waktu untuk melakukan hobi dan mengeksplorasi minat yang sebelumnya dianggap terlalu memakan waktu. Maka ada yang bilang, gaya hidup minimalis adalah salah satu contoh dari pensiun dengan jalur cepat. Marie Kondo mungkin benar ada banyak cara yang mungkin dianggap remeh tapi sebetulnya banyak yang bisa diterapkan dalam rangka gaya hidup minimalis seperti:

  1. Makan, makanan kita dengan penuh perhatian, perhatikan rasa dan tekstur makanan Anda, bukan sambil nonton TV atau main handphone.
  2. Sering istirahat teknologi, matikan semua notifikasi jika memungkinkan. Cara ini sudah sering saya praktekkan bahkan dari jaman kuliah, dimana handphone saya akan mati secara otomatis ketika jam sudah menunjukkan jam tidur.
  3. Batasi waktu yang dihabiskan di media sosial, perbanyak bercengkerama dan mengobrol dengan sesama.
  4. Jika Anda memiliki banyak waktu luang yang tidak produktif — cobalan dihanti dengan membaca buku, mendengarkan audio atau podcast
  5. Menghabiskan waktu di luar ruangan, berolahraga atau hanya terhubung dengan alam

Jujur, jika menurut Marie Kondo begitu caranya, sebetulnya sudah sering saya praktikkan, namun tak pernah tuntas, karena pekerjaan lebih menjadi pikiran, kalau anda tanya kepada saya "kalau gitu, mundur aja, kan gampang!". Andai hidup segampang itu ferguso, tentu semua orang akan menjadi hidup minimalis.

Namun, kalau pekerjaan tidak menumpuk, maka saya sangat sarankan anda menggunakan gaya hidup ini karena ternyata penelitian juga membuktikan orang yang menjalani hidup minimalis, akan lebih sedikit tingkat stresnya, lebih banyak waktu: karena kita hanya melakukan untuk hal-hal yang paling penting dalam hidup kita. 

Dan yang paling penting adalah lebih sedikit penyakit tubuh dan pikiran, karena di masa sekarang sebuah fakta yang terkenal bahwa beberapa penyakit gaya hidup modern lahir dari stres dan kecemasan. So, anda yang paling tahu hidup anda, karena anda yang tahu prioritas hidup anda, termasuk cara menempatkan keluarga, teman, dan pekerjaan dalam urutan yang benar.

Cheers!

*)Ronald Anthony

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun