Sabtu dua minggu yang lalu, saya menuliskan saturday morning dengan tajuk "Pilih Kiri, Kanan, atau Tengah". Banyak mahasiswa yang kemudian disibukkan dnegan pilihan-pilihan. Rasa-rasanya memang dalam hidup kita ini harus memilih, setiap apapun harus dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Seringkali pilihan-pilihan itu pun bukan perkaran yang gampang, karena bisa jadi pilihan-pilihan yang dii hadapan anda itu bisa membuat anda punya dua kemungkinan di akhir. Yang pertama, Yes, pilihan yang saya ambil benar atau bisa jadi No, kesalahan saya mengambil pilihan itu.
Gara-gara ini saya jadi teringat kala merenung di tugu jogja, setahun yang lalu, teman saya krishna founder KSJ, bercerita soal kerasnya pandemi ini menghantam bisnis mereka, sangat sulit sekali, sampai-sampai keluar sebuah quotes yang menurut saya relevan
Hok, Ini bukan tentang ke mana kau ingin pergi, tapi ini tentang di mana kau sedang berada.
Saya pikir itu, hanya sebuah pernyataan biasa saja. Sekedat pernyataan yang dikeluarkan di kala sedang merenung, tapi kok makin kesini rasanya pernyataan itu relevan dengan kondisi-kondisi yang terjadi saat ini. Lantas apa maksudnya "Dimana kamu berada?".
Pertanyaan dimana kamu sekarang berarti bercerita soal bagaimana kita mengenali diri kita dengan sebaik-baiknya. Konsep mengenali diri dengan sebaik-baiknya atau dengan kata lain sebagai bagian dari "self awareness" atau kesadaran diri.
Saya ingat ada sebuah buku, yang diawalnya para pembaca diajak menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk dirinya sendiri seperti :
1. Apa yang anda kuasai?,
2. Seberapa baik Anda mengetahui kepribadian Anda, bagaimana hal itu mempengaruhi perilaku Anda, bagaimana Anda menangani konflik, apa yang menyebabkan Anda stres, dan bagaimana Anda memecahkan masalah?
3. Apa saja kekuatan Anda?,
5. Bisakah Anda jujur pada diri sendiri, menerima siapa Anda?
Sampai sekarang saya masih berusaha menjawab-menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, karenapada akhirnya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas bukan hal yang mudah. Perlu sebuah Journey untuk menjawabnya, perlu waktu yang panjang, dan juga paling penting perlu kejujuran.
Beberapa waktu yang lalu saya menghubungi salah seorang teman saya jaman kuliah yang bekerja di salah satu BUMN. Semester ini untuk mata kuliah saya, saya berencana mengundangnya sebagai dosen tamu di mata kuliah Business Law yang saya ampu untuk berbicara soal pengalamannya sebagai legal di salah satu BUMN untuk mengurus kontrak bisnis. Tapi baru saya menyelesaikan pernyataan saya, saya langsung ditolak mentah-mentah sama teman saya ini. "Sorry Hok, bukannya nggak mau bantu, tapi untuk bicara di depan umum sepertinya bukan my passion". "Kalau bicara konsultasi dengan orang perorangan mungkin akan lebih bisa". Wkwkwk. Ujarnya.
Tentu kalau ditanya, apa perasaan saya saat itu, saya jujur merasa kesal sekaligus kagum dengan sahabat saya ini, Gimana nggak kesal, kita kasih panggung untuk mempertunjukkan kemampuannya gak mau. Apa karena teman saya ini pernah marah karena saya pernah mengalahkannya waktu debat di suatu mata kuliah di kampus?, Wkwkwk, kok jadinya teori konspirasi yang muncul. WKwkwk.
DI satu sisi memang sangat mengesalkan, saya sudah atur dan setting dengan baik, agar ia bisa sharing segala kehebatan dan kemampuan yang ia punya. Namun, di sisi lain itulah sesuatu kejujuran yang patut kita hargai. Ketika kamu kenal diri kamu samapai ke akar-akarnya dan hingga bisa menolak sesuatu karena kamu tau bahwa itu bukan passion mu.
Satu lagi ilmu yang bisa dapatkan dari hal-hal yang kecil. Kelemahan yang kita punyai muncul karena ada alasan di belakangnya. Tentu tidak akan gampang menerima kenyataan bahwa memang kita ada kelemahan di beberapa hal. tapi akan sangat melegakan bagi kita yang tahu meskipun kita leman tapi kita punya banyak kekuatan lain. Ketika kita bisa menerima itu, itulah saatnya kita maju.
Begini, mungkin di awal-awal saya jadi dosen, banyak diantaranya yang mengatakan keren sih, masih muda sudah jadi dosen membagi ilmu, dan sebagainya. Tapi ketahuilah jadi dosen tidak sebagus namanya, perlu banyak effort berlebih yang harus dikeluarkan, misalnya merelakan waktu untuk bersantai untuk sekedar mengoreksi, pola tidur berubah karena waktu tidur bisa hanya 4-5 jam saja saking banyaknya yang perlu dikerjakan. Belum lagi kalau pekerjaan menumpuk di weekend, yang berarti juga harus tetap bekerja di weekend, barang tentu sudah pasti mengorbankan quality time, nongkrong sama teman, dan sebagainya.
Lantas pertanyaanya, Kenapa banyak dari kita yang kemudian lebih sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan Kemana harus pergi daripada anda berada dimana?. Secara sederhana sering saya ceritakan Social media kita kini lebih sering memperlihatkan soal pencapaian, keberhasilan, milestones, awards. Lebih banyak yang membuaikan, ketimbang pahit-pahitnya.
Lebih banyak Where To Go. Maka secara tidak langsung alam bawah sadar kita pun secara tidak langsung berusaha untuk mengarah ke sana. Coba lihat sistem pendidikan, sekolah, universitas, orang tua - orang tua yang lebih sibuk mengkotak-kotakkan tujuan. DIberondong dengan pertanyaan mau kuliah kemana, dan jurusan apa?, seringkali malah membuat kita harus menentukan jurusan dalam jeda waktu yang sempit antara kelulusan SMA dan kuliah.
Mana sempet mikirin kenali diri? belum lagi, Society, pressure untuk sesegera mungkin land a job setelah lulus, sehingga any kind of job will do first. Little did we put our conscious effort looking in ourselves instead of looking out.
Saya di awal perkuliahan kepada mahasiswa, sering menganalogikan hidup pasca kuliah itu seperti berenang di lautan. Anda punya pilihan, mau belajar berenang saat sudah sampai ke laut atau mau belajar berenang di kolam renang? Kalau di kolam renang kedalamannya terukur, tekanannya terukur, suhunya terukur, arusnya juga terukur, dan di sana Anda bisa belajar berenang.
Atau Anda langsung terjun ke laut dan belajar berenang. Resikonya agak besar belajar berenang di tengah lautan. Kalau Anda belajar berenang di kolam renang resikonya jauh lebih terkontrol. Karena itu belajarlah “berenang”, belajar untuk memimpin, belajar menjadi bagian dari masyarakat ketika kuliah.
Sebagai penutup kadang kala, kita perlu rehat sejenak dan mundur kebelakang untuk melihat apa-apa yang sudah kita lakukan. Barangkali dari hal-hal itu anda akan mulai menemukan jawaban-jawaban atas kegelisahan hidup anda. Apapun itu, selama Where You Are (or should I say Who You Are) seirama, seia-sekata, dengan Where You Want To Go. Disitulah sejati-nya kamu bertemu dengan mimpi-mimpi kamu.
Sebelum ditutup catatan ini, saya ingin cerita juga bahwa saya bukan motivator, saya bukan orang yang coba menggurui anda, tapi saya berusaha memberikan perspektif berbeda, berusaha menjembatani ruang kosong dalam pikiran anda. Salam
*)Ronald Anthony
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H