Beberapa waktu yang lalu saya menghubungi salah seorang teman saya jaman kuliah yang bekerja di salah satu BUMN. Semester ini untuk mata kuliah saya, saya berencana mengundangnya sebagai dosen tamu di mata kuliah Business Law yang saya ampu untuk berbicara soal pengalamannya sebagai legal di salah satu BUMN untuk mengurus kontrak bisnis. Tapi baru saya menyelesaikan pernyataan saya, saya langsung ditolak mentah-mentah sama teman saya ini. "Sorry Hok, bukannya nggak mau bantu, tapi untuk bicara di depan umum sepertinya bukan my passion". "Kalau bicara konsultasi dengan orang perorangan mungkin akan lebih bisa". Wkwkwk. Ujarnya.
Tentu kalau ditanya, apa perasaan saya saat itu, saya jujur merasa kesal sekaligus kagum dengan sahabat saya ini, Gimana nggak kesal, kita kasih panggung untuk mempertunjukkan kemampuannya gak mau. Apa karena teman saya ini pernah marah karena saya pernah mengalahkannya waktu debat di suatu mata kuliah di kampus?, Wkwkwk, kok jadinya teori konspirasi yang muncul. WKwkwk.
DI satu sisi memang sangat mengesalkan, saya sudah atur dan setting dengan baik, agar ia bisa sharing segala kehebatan dan kemampuan yang ia punya. Namun, di sisi lain itulah sesuatu kejujuran yang patut kita hargai. Ketika kamu kenal diri kamu samapai ke akar-akarnya dan hingga bisa menolak sesuatu karena kamu tau bahwa itu bukan passion mu.Â
Satu lagi ilmu yang bisa dapatkan dari hal-hal yang kecil. Kelemahan yang kita punyai muncul karena ada alasan di belakangnya. Tentu tidak akan gampang menerima kenyataan bahwa memang kita ada kelemahan di beberapa hal. Â tapi akan sangat melegakan bagi kita yang tahu meskipun kita leman tapi kita punya banyak kekuatan lain. Ketika kita bisa menerima itu, itulah saatnya kita maju.
Begini, mungkin di awal-awal saya jadi dosen, banyak diantaranya yang mengatakan keren sih, masih muda sudah jadi dosen membagi ilmu, dan sebagainya. Tapi ketahuilah jadi dosen tidak sebagus namanya, perlu banyak effort berlebih yang harus dikeluarkan, misalnya merelakan waktu untuk bersantai untuk sekedar mengoreksi, pola tidur berubah karena waktu tidur bisa hanya 4-5 jam saja saking banyaknya yang perlu dikerjakan. Belum lagi kalau pekerjaan menumpuk di weekend, yang berarti juga harus tetap bekerja di weekend, barang tentu sudah pasti mengorbankan quality time, nongkrong sama teman, dan sebagainya.Â
Lantas pertanyaanya, Kenapa banyak dari kita yang kemudian lebih sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan Kemana harus pergi daripada anda berada dimana?. Secara sederhana sering saya ceritakan Social media kita kini lebih sering memperlihatkan soal pencapaian, keberhasilan, milestones, awards. Lebih banyak yang membuaikan, ketimbang pahit-pahitnya.
Lebih banyak Where To Go. Maka secara tidak langsung alam bawah sadar kita pun secara tidak langsung berusaha untuk mengarah ke sana. Coba lihat sistem pendidikan, sekolah, universitas, orang tua - orang tua yang lebih sibuk mengkotak-kotakkan tujuan. DIberondong dengan pertanyaan mau kuliah kemana, dan jurusan apa?, seringkali malah membuat kita harus menentukan jurusan dalam jeda waktu yang sempit antara kelulusan SMA dan kuliah.Â
Mana sempet mikirin kenali diri? belum lagi, Society, pressure untuk sesegera mungkin land a job setelah lulus, sehingga any kind of job will do first. Little did we put our conscious effort looking in ourselves instead of looking out.Â