Rasanya setelah lebih dari 100 tahun, perilaku manusia ternyata masih sama saja. Mau ada internet ataupun tidak, adanya globalisasi atau tidak, tetap tidak merubah karakter orang.
Dalam buku itu, digambarkan betapa pada 1918 dan 1919, berbagai aturan coba dikeluarkan namun masih banyak yang belum berhasil, sekarang kita mengenal isolasi mandiri, masa itu, disebut karantina kesehatan, yang apabila pendatang atau penumpang kapal jika belum memiliki surat bebas influenza ataupun surat izin, dilarang memasuki wilayah hindia belanda. Tidak hanya itu saja, tercatat juga Pemerintah Hindia Belanda, juga turut membagikan masker secara besar-besaran kepada masyarakat sebagai langkah untuk mencegah pandemi terus meluas.
Bahkan dalam buku itu, pemerintah belanda sempat beberapa kali merevisi aturannya dan akhirnya keluarlah Influenza Ordonantie. Sejarah pun mencatat, estimasi jumlah korban yang ada akibat pandemi ini diperkirakan antara 20-50 juta orang. Walupun jumla ini bisa diperdebatkan dan dipertanyakan hal ini karena kondisi dunia saat itu sedang mengalami Perang Dunia Pertama (1914-1918), menyebabkan program sensus dan pendataan masyarakat tidak berjalan dengan baik.Â
Dan kemudian, pada tahun-tahun tersebut jasa pelayanan kesehatan masyarakat belum sebaik saat ini, sehingga data pasien dan penyakit dipastikan tidak akurat.Â
Kepercayaan orang Indonesia soal hal-hal mistis juga ternyata sudah aja sejak dulu, beberapa pasien bahkan menghubungkannya dengan kepercayaan metafisik. Yang dimaksudkan di sini adalah adanya upaya untuk mengkaitkan wabah penyakit influenza dengan pelanggaran terhadap tempat-tempat atau benda-benda yang dianggap sakral.Â
Supaya tidak salah pengutipan saya coba kutip saja dari bukunya langsung :
Mereka yang melanggar pantangan atau aturan adat dianggap sebagai sumber atas terjadinya wabah tersebut. Oleh karena itu langkah yang perlu diambil untuk memulihkan keadaan adalah dengan mendatangi makam-makam suci di tempat terjadinya wabah dan melaksanakan ritual adat. Selain itu, ada juga yang meyakini bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh gangguan roh-roh atau hantu penunggu lokasi tertentu. Untuk meredakan kemarahan, menebus pantangan atau mengusir hantu-hantu dan roh-roh tersebut, sejumlah masyarakat yang terkena wabah melaksanakan upacara tradisional dengan menyembelih jenis-jenis hewan tertentu. Harapan mereka adalah dengan darah hewan-hewan tersebut dapat menghilangkan gangguan, semua roh yang mengganggu dalam bentuk peÂnyakit influenza akan puas dan kemudian meninggalkan tempat ini bersama dengan lenyapnya penyakit tersebut.Â
Tapi bagian paling penting dan saya paling senangi ada di bagian kesimpulan, rasanya persis seperti kondisi kita sekarang salah satunya adalah pemerintah kolonial yang dianggap tidak sigap dan cepat dalam mengambil tindakan, meskipun mencurahkan perhatian khusus. Peringatan dini yang sudah dikirimkan oleh para pejabat Belanda di Singapura dan Hongkong sudah memberi peringatan namun oleh pemerintah tidak cepat diperhatikan dan diambil tindaklanjutnya. Dan terkesan terlambat langkah hukum formal baru diambil lebih dari dua tahun setelah peringatan pertama diterima.Â