Apakah anda masih ingat dengan pelajaran soal fisika dasar? tentang magnet contohnya. Salah satu cara biar besi atau baja non magnet dapat berubah sifatnya seperti magnet itu sendiri adalah dengan menggunakan metode induksi. Cara mudahnya adlaah kita cuma perlu deketin besi atau baja tersebut dengan magnet yang kuat. Tidak pakai sentuh, tidak pakai gosok, dan tidak perlu dipukul, hasilnya adalah besi dan baja tadi tidak lama kemudian bisa mempunyai sifat seperti magnet.Â
Sejenak setelah membaca di internet soal itu saya teringat dengan namanya kehidupan. Dulu jaman sekolah atau kuliah, saya sering dikasi tahu, kalau kita bergaul dengan orang malas maka lama-lama kita bisa ikutan menjadi pemalas, Trus kalau seandainya kita dekat dengan orang yang suka marah-marah, maka lama-lama kita bisa ikutan menjadi pemarah. Begitupun sebaliknya, jika kita dekat dengan orang pintar maka lama kelamaan kita bisa menjadi orang pintar.
Cerita soal ilmu fisika diatas muncul, ketika tadi malam saya ber zoom ria dengan sahabat saya semasa di jogja, tidak lama waktunya hanya ngobrol sekitar 30 menit saja itupun rasanya belum cukup. Masih banyak yang perlu diceritakan, di awal saja bahas soal reuni dan nostalgia, tapi sisanya diisi dengan cerita-cerita soal pekerjaan dan penelitian terbaru dia sekarang soal "Marah-Marah". Loh kok marah-marah? Yaps teman saya ini kebetulan kuliahnya di jurusan psikologi, Ananda Dami namanya.Â
Sudah lama lulus, tidak mau jadi psikolog seperti kebanyakan teman-temannya, malah tetap mau mengabdi sebagai seorang peneliti fenomena sosial, maka jadilah salah satu hasil riset dia yang masih proses ini diceritakan yaitu soal Marah-Marah. Sebetulnya dia tidak ingin ini diceritakan, tapi karena saya sudah penasaran saya merong-rong untuk sedikit membuka soal penelitiannya tersebut. Ia pun bersedia.Â
Dari hasil penelitian sementara soal marah-marah ia menyimpulkan bahwa orang lebih cepat emosi dan banyak marah-marah ketika dalam posisi tersudut atau disudutkan. Maka untuk pembenaran akan hal tersebut orang marah-marah agar sifat egoismenya dalam diri dapat menekan lawan bicaranya.
Awal-awal dia bicara saja, mumet ndassku rek!! tapi saya berusaha untuk ikut memahami, saya tahu ananda sudah cukup lama melihat fenomena ini. Bahkan, ketika heboh-heboh soal ibu-ibu di minimarket bandung yang marah-marah tidak mau antri saya tahu ananda sudah meninjau kasus ini. Setidaknya itulah yang ia paparkan kepada saya. Maka saya tanya apa solusinya?
"Tool Anti Marah" katanya. Kalau ini bisa diujicobakan terus menerus maka sebetulnya hasil yang didapatkan bisa lebih valid. Lantas, bagaimana cara kerjanya? ujar saya. Gampang Sekali katanya, hal ini bisa dilakukan bahkan sendiri pun bisa dilakukan dengan rumus 3-2-1. Rumus 3-2-1 ini ia ciptakan sendiri dengan meniru cara kerja otak, 3 Menit berpikir, 2 Menit menyusun proses dalam kalimat dan 1 menit untuk diucapkan. Maka kalau digambarkan sederhana-nya kalau ada sesuatu yang buat anda marah sebaiknya biarkan 3 menit otak anda memproses itu, dan mengubah 2 menit menjadi kalimat agar 1 menit ketika anda mengucapkan kalimat tersebut terdengar santun dan penuh nilai kesopanan dan tidak menimbulkan pertentangan dengan orang yang menjadi lawan bicara anda.Â
Meskipun demikian, kata ananda perlu banyak penelitian lagi untuk hal ini, apalagi jumlah responden yang ia ikut sertakan dalam proses ini hanya berjumlah 25 orang saja. Itupun rekan-rekan terdekatnya saja, perlu orang-orang di luar lingkup agar bisa semakin valid. Dan hasilnya sejauh ini cukup baik ujarnya. Dari 25 orang yang diuji, 15 orang ternyata mampu mengendalikan emosinya dengan lebih baik. Sisanya, masih ada yang terbawa emosi dan ada pula yang mampu menahan namun tetap akhirnya los juga.
Saya sendiri pun sudah mengajukan diri untuk menjadi sukarelawan tersebut untuk ikut diuji, namun ananda berkata, ia ingin menyelesaikan hasil input datanya terhadap 25 orang ini, jika sudah ia akan segera menghubungi saya. Meskipun, saya sebetulnya jarang untuk emosian, tetapi rasa-rasanya manusia kan ada batas kesabarannya, saya pikir menjadi menarik untuk ikutan penelitian seperti ini, mana tahu penelitian ini akan menjadi embrio tool anti marah yang bisa diterapkan bagi seluruh orang Indonesia. Wkwkwk!
Ngomong-ngomong soal tool anti marah, rasanya akhir-akhir ini termasuk dalam berbagai media, banyak yang menyebut orang-orang yang suka marah-marah termasuk dalam 'generasi sumbu pendek'. Padahal menyambung cerita di atas banyak sekali penelitian kalau kita tempramental maka akan berpotensi membuat dirinya terkena penyakit-penyakit seperti jantung koroner, hipertensi, stroke, dsb. Bahkan dalam sebuah buku seornag ahli jantung koroner menyatakan bahwa orang yang bermasalah dalam hal mengontrol emosi maka juga butuh waktu lebih lama untuk pulih dari penyakit yang dideritanya ketimbang mereka yang bisa mengontrol emosinya dengan lebih baik.
Selain tool 3-2-1 tersebut, berdasarkan buku tersebut juga dipaparkan bahwa pada prinsipnya kita sebagai manusia memang tidak bisa menghindari persinggungan dengan situasi atau orang-orang yang berpotensi membuat kita marah. Maka cara satu-satunya yang paling bisa kita lakukan adalah mengubah cara berpikir kita dengan hal-hal  yang positif, serta mengisi hati kita dengan sikap mengasihi orang lain. Kedua hal ini tentu akan membuat hati kita menjadi tenang dan damai, oleh karena itu berusahalah melihat segala sesuatu dengan perspektif kasih dan mengasihi. Maka dengan begitu akan membuat kita menjadi pribadi yang bisa lebih tangguh dan kuat saat berhadapan dengan kondisi apapun. Sekalipun, itu merupakan kondisi yang menyebalkan.
*)Ronald Anthony  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H