Minggu menjelang akhir semester atau akhir tahun ini adalah hari-hari yang semakin padat, mulai dari mengurus nilai, persiapan ujian, dan juga ada beberapa pelatihan konsultan hukum yang mesti diselesaikan. Letih sudah pasti, namun tak jarang sampai rumah pun pekerjaan yang ada mesti dilembur lagi. Ya Sudahlah, namanya bekerja pasti akan ada tantangan dan juga sibuknya. Dijalani saja mencari rejeki memang masih sumber utama, apalagi di usia-usia yang sedang produktif-produktifnya mesti digass terus.
Tapi edisi kali ini bukan ingin bercerita soal hectic nya jadwal beberapa minggu terakhir ini. Tetapi ini bercerita beberapa pertemuan di tengah minggu ini, yang tak terduga terjadi. Salah satunya ketika saya akan balik makan siang hari kamis ini, ketika membeli sebuah lauk di salah satu rumah makan di Pontianak. Ada tepukan di bahu saya, "Pak, apa kabar pak?" tuturnya, sontak saya berbalik. Hmmmm, gumam saya dalam hati, wajahnya familiar, tapi kok saya lupa ya namanya. Masih ingat saya nggak pak? katanya. "Waduh, saya ni lupa-lupa ingat" .
Akhirnya setelah dicoba beberapa kali dia akhirnya memperkenalkan diri, "saya ray pak, mahasiswa bapak yang sudah lulus 2, 5 tahun yang lalu". Waduh, cilaka, memang nampaknya bapak nih ada bakat pelupa, sampai mahasiswa 2,5 tahun yang lalu saja bapak tidak ingat. ujar saya. Wkwkwk
Segera saya tanya, apa kabarnya kamu ray?, apa kesibukan sekarang? tanya saya. Sekarang saya bekerja di kebun pak di daerah sanggau, cuma sekarang lagi di Pontianak pak, belanja kebutuhan sehari-hari". Ooouww, mantaplah jawab saya.
Belum selesai saya menjawab, tiba-tiba ray menyambar, "Bapak, masih ingat ndak kejadian 2 tahun yang lalu?." Ingat apa ni roy, bapak tak ingat sama sekali! pula tu." Ungkap saya seraya tertawa.
"Saya 2 tahun yang lalu, pernah dalam posisi lapar, duduk termenung depan kampus kumpulkan tenaga, lalu bapak mau pulang habis mengisi kuliah, bapak tengok saya, pergi ngajak saya makan bubur ikan, bahagia saya pak, uang kiriman lagi tipis, bapak tolong saya." Sampai sekarang saya masih ingat pak kejadian itu. Itu, membuat saya terkenang pak, bisa jadi saya seperti ini, juga karena asupan gizi dari bapak." tuturnya.
Sempat saya terdiam beberapa saat ketika ray bercerita itu, sebetulnya saya saja sudah agak lupa kejadian itu. Tapi ternyata ada orang yang pernah berkesan soal itu. Saya sebetulnya tidak ingin cerita-cerita soal ini, takut dianggap macam-macam, tapi untuk edisi kali ini, saya pikir kondisi sekarang cocok dan relevan untuk diceritakan dengan kisah si ray ini. Kita mungkin seringkali melakukan sesuatu yang mungkin terkesan biasa-biasa saja dan bahkan cenderung mudah untuk terlupakan. Tapi bisa jadi, di sebagian orang hal itu menimbulkan kesan yang mendalam, mereka bisa mengingat itu, berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun.
Ingatan masa itu pun muncul akhirnya, kalau waktu itu, saya bersikap bodoh amat, ya mungkin saja bisa saya lakukan. Namun, entah mengapa hari itu seperti ada yang mendorong saya memanggil anak itu, wajahnya pucat pasi sambil memegangi perut. Tentu, saya pernah mengalami kondisi seperti yang ray alami, saya tahu betul rasanya, karena semasa menjadi mahasiswa pada saat uang kiriman menipis, kita harus tetap bertahan hidup bagaimanapun kondisinya. Walaupun, tak jarang saya selalu bersyukur dikeleilingi orang-orang baik semasa berkuliah.
Kadang kala sederhana, namun selalu terkenang. Saya sebetulnya tak menyangka, dari sekian part perkuliahannya. Itu adalah salah satu yang ia kenang. Lebih lanjut ray menyampaikan, "peristiwa itu buat saya terinspirasi pak, karena dulu saya pernah dibantu bapak, sekarang saya juga akan melakukan yang sama pak, hanya bedanya untuk sekitar dan orang terdekat saya saja pak."
Sepanjang jalan pulang kembali ke rumah, saya terus menerus berpikir, begitu rasanya kebaikan yang ditabur, rasanya adem dan ayem dan tentu penuh sukacita. Sedikit ada perasaan nakal saya membayangkan kalau orang Indonesia seandainya mau bersumbangsih minimal Rp. 20.000 saja per orang dikalikan dengan per hari. Saya pikir sedikit banyak bisa membatu pemerintah dalam melakukan program pengentasan kemiskinan. Ahh, tapi itu kan pikiran halusinasi saya saja, karena akhir-akhir ini saya sering menemui fenomena yang terjadi adalah orang banyak "Memberi Karena Pertimbangan".
Untuk memperjelas ini saya coba berikan kepada anda dua buah ilustrasi cerita, Anda sedang makan siang di suatu warung, lalu tak berapa lama ketika anda sedang makan datanglah pengamen sambil bernyanyi dan menjulurkan sebuah kantong hitam. Kira-kira apa yang akan anda lakukan?
Moro tangan seraya meminta pergi atau malah sebaliknya segera mencari uang untuk memberikannya? Tahan dulu jawaban anda, saya berikan satu ilustrasi lagi baru anda menjawab, Anda sedang mengendarai mobil anda di jalan raya, lalu tak berapa lama anda ada di lampu merah dan kemudian ada tangan penjual kerupuk mengetuk di kaca mobil anda seraya menanyakan apakah ingin membeli dagangannya. Kira-kira apa yang anda lakukan?
Menolak atau malah memberi, kalau saya pribadi saja mungkin banyak melakukan yang pilihan pertama ketimbang pilihan yang kedua. Iya itu karena selalu didasari motif memberi dengan "pertimbangan". Dia bukan siapa-siapa kita udah itu malas lagi, adalah kerap kali menjadi pembenaran atas sikap saya tersebut.
Lalu apa lagi contoh pertimbangannya misalnya seperti, Siapa sih dia? Kenapa sih saya harus bantu dia? dan sebagainya. Tapi lain cerita kalau yang anda beri adalah adalah orang yang anda kenal, saya pikir tanpa tedeng aling-aling pun anda sudah pasti akan membantu, bahkan berharap agar orang tersebut mengetahui bahwa anda membantunya. Nah, hal itu yang sering terjadi bukan dalam kasus korupsi, setiap orang berlomba-lomba agar dikenal olh pejabat tersebut. Agar sewaktu-waktu mudah apabila ada hubungan pekerjaan.
Maka menggambarkan soal "memberi" ini pernah saya gunakan analogi di dalam kelas seperti ini :
- Kalau Istri Pejabat Yang Meninggal => maka uang dukanya besar
- Kalau si Pejabat Yang Meninggal => Uang Dukanya Kecil
Tapi ya begitulah Indonesia, kadang kala ada saja cerita seperti itu muncul, ngomong-ngomong soal memberi dan sumbangan, akhir-akhir ini pun banyak timbul organisasi-organisasi non profit yang bertujuan menghimpun dana sumbangan di masyarakat. Ada yang kredibel dan terpercaya dan ada juga yang hanya tipu-tipu belaka. Beberapa teman saya pernah ketipunya. Mulai dari modus minta sumbangan darah sampai sumbangan korban bencana alam.
Dilandasi atas hal itu, salah satu hikmah dari pandemi adalah banyak keluarnya ide-ide segar, salah satunya di dalam circle pertemanan kami, pada mungkin sekitar bulan maret tahun ini kami berhasil membentuk salah satu organisasi non profit yang bergerak di bidang sosial masyarakat dengan nama Untuk Sahabat. Untuk Sahabat sendiri lahir di tengah keprihatinan kami, bahwa masih banyak orang-orang yang ada di sekitar kami yang masih membutuhkan bantuan.
Selain itu, banyak diantara teman-teman kami yang ingin menyumbang namun juga terkendala di waktu tidak bisa menyalurkan secara langsung. Selain itu, banyak yang khawatir lembaga atau organisasinya tidak kredibel. Oleh karena itu, pendirian untuk sahabat menjadi salah satu jembatan untuk mewadahi kekhawatiran akan hal tersebut. Bahkan, kalau mau jujur, setiap kali akan dilakukan open donation pasti kami lakukan survey terlebih dahulu ke tempat yang akan dikunjungi, bukan apa hal ini agar bantuan yang diberikan tepat sasaran dan tidak mubajir.
Kami sadar memang masih banyak yang perlu dibenahi dalam organisasi ini, seperti kata founder kami riki kusnadi, tak perlu besar-besar, cukup bikinlah hal-hal yang kecil-kecil tapi setidaknya bisa bermakna. Itu juga visi yang kami usung dalam Untuk Sahabat ini, yaitu menjadi insan yang ingin bergerak bersama menyalakan pelita kebahagiaan bagi sesama. #bergerak dari sekarang
Namun, bisa jadi dalam diri anda persis seperti yang saya alami masa dulu dimana ada rasa enggan dalam memberi. Maka, kalau saya mengibaratkan bahwa ketika dalam memberi usahakan mengingat, bahwa anda sedang “berlatih” memberi; berlatih untuk mengulurkan tangan anda dengan jumlah yang tiada berarti?. Kalau sudah coba anda rasakan, rasanya seperti ada sesuatu yang mengalir dari dalam diri melalui telapak tangan anda. Yang mengalir itulah yang bisa kita sebut sebagai kasih sayang.
Kasih sayang itu sendiri tidak hanya kepada pacar saja, tetapi juga bisa ke sesama manusia. Nah, di dalam proses memberi tanpa pertimbangan tersebut kalau diibaratkan maka laksana menyingkirkan sebuah batu penghambat di sebuah arus sungai. Arus sungai itu sendiri adalah rasa kasih dari dalam diri kita. Sedangkan batu penghambat kita gambarkan sebagai kepentingan yang berpusat pada diri sendiri. Karena kalau tidak disingkirkan, batu penghambat tersebut yang pada akhirnya selalu menjadi penghambat ketika kasih akan dilakukan. Karena sesungguhnya, bukan receh atau berlian yang anda berikan. Kemurahan itu tidak terletak di tangan, melainkan dari dalam hati anda sendiri.
Oh iya saya sampai hampir lupa, menjelang akhir tahun ini, Untuk Sahabat akan mengadakan bakti sosial ke beberapa panti asuhan dan panti jompo di beberapa wilayah di kalimantan barat. Tentu, seperti yang saya sampikan di atas, kami tak mungkin bergerak sendiri, harus #bergerakbersama agar sahabat-sahabat kita yang membutuhkan bantuan segera bisa mendapatkannya.
Oleh karena itu, bagi kompasianer, yang ingin terlibat dalam memberikan bantuan, silahka hubungi @untuksahabat.id. Dan jangan khawatir bagi kompasianer sekalian, setiap selesai kegiatan kami akan melakukan audit internal yang hasilnya kan disampaikan dalam bentuk laporan kepada semua donatur yang telah ikut serta berpartisipasi untuk #bergerakbersama kami. Jadi jangan ragu ya, kami tunggu uluran kasih anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H