Manajemen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mungkin bisa belajar beberapa hal dari penyelenggaraan ibadah haji.
Mengurus negara bukanlah hal yang mudah. Indonesia dengan beragam suku, agama, kepulauan yang terdiri dari 13 ribu pulau dan begitu banyak persoalan yang banyak membutuhkan penyelenggara yang mumpuni.Mengurus ibadah haji juga bukan hal yang mudah. Sebelum pandemi sekitar 200 ribu jemaah yang harus diberangkatkan. Tahun 2022 pemerintah Arab Saudi hanya memberi Indonesia kuota jemaah haji "hanya" sekitar 100 ribu jemaah, turun dibanding masa normal.
Namun bayangkan, jika setiap pesawat mampu menampung sekitar 350 jemaah maka dibutuhkan sekitar 285 pesawat untuk menerbangkan 100 ribu jemaah haji ke Arab Saudi. Belum lagi pengurusan visa dan syarat dokumen lainnya bagi jemaah.
Jika satu kamar hotel mampu menampung 4 orang berarti dibutuhkan sekitar 25 ribu kamar untuk jemaah haji 2022. Belum makanan yang tahun ini disediakan 3 kali sehari, yang berarti harus disiapkan 300 ribu porsi makanan setiap harinya.
Bukan hal yang mudah, namun menurut pengamatan penulis (antara lain dari pemberitaan Harian Kompas). Penyelenggaraan haji dari tahun ke tahun semakin baik. Hotel yang dulu letaknya jauh dari Masjidil Haram, sekarang ini letaknya semakin dekat. Pendingin di tenda Arafah yang dulunya menggunakan mesin kompresor (kadang hanya mengeluarkan angin), sekarang diganti dengan penyejuk ruangan listrik yang lebih stabil dan dingin (Harian Kompas 26 Juni 2022).
Bagi jemaah haji yang tersesat atau membutuhkan bantuan, sekarang ini tinggal menunjukkan gelang identitas. Di gelang identitas ini terdapat QR Code yang bisa di pindai petugas untuk mengetahui data lengkap jemaah. Jemaah haji yang kesehatannya memerlukan perhatian  khusus diberikan gelang pintar yang bisa memantau tanda-tanda vital mereka. Sebuah kemajuan dibanding sebelumnya.
Setidaknya ada tiga hal benar yang dilakukan dalam penyelenggaraan haji. Pertama adalah gotong royong, bahu membahu semua pemangku kepentingan untuk bisa melakukan usaha terbaik dalam penyelenggaraan haji.
Terlihat dari bagaimana kerja sama Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri melobi pemerintah Arab Saudi untuk dapat meningkatkan kuota haji, meningkatkan kualitas fasilitas haji Indonesia dan lainnya. Kerja sama lembaga legislatif dan eksekutif juga kuat, DPR tak hanya mengawasi tetapi juga membantu dalam pemenuhan anggaran haji misalnya.
Tak terlihat gontok-gontokan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melayani jemaah haji. Tak juga terlihat ego sektoral, antar kementerian, eksekutif vs legislatif atau pusat vs daerah.
Kaizen adalah hal yang kedua. Kaizen dalam filosofi manajemen Jepang berarti perbaikan berkesinambungan. Bukan cuma hal besar, perbaikan hal kecil juga termasuk dalam filosofi ini. Perbaikan yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam perusahaan termasuk karyawan.
Terlihat dari tahun ke tahun penyelenggaraan haji juga melakukan hal ini. Menu makanan misalnya yang semakin baik. Kualitas yang terus ditingkatkan, bagaimana mencegah makanan basi tersaji ke jemaah haji misalnya. Pengawasan dilakukan sampai ke dapur katering. Perusahaan katering juga sampai menggunakan juru masak dan bahan makanan yang diimpor dari Indonesia demi menjaga rasa agar tetap otentik dan sesuai lidah orang Indonesia.