Tetapi memang hal ini bukan hanya terjadi di kalangan orang yang berpendidikan rendah. Banyak pemimpin negara bahkan wakil ketua DPR hanya bisa nyinyir tanpa bisa memberikan solusi alternatif.
Kemajuan teknologi makin membuat orang semakin kebablasan. Democrazy kalau menurut saya bukan lagi demokrasi, kemajuan teknologi yang bisa membuat seseorang membuat profil yang anonim sering kali menjadikan seseorang berperilaku 180 derajat dibanding dengan kesehariannya. Menyebabkan lebih banyak saling memaki dibanding adu pendapat di media sosial.
Kedewasaan dalam berdemokrasi yang belum bisa diwujudkan mulai dari awal reformasi sampai sekarang. Malah semakin menurun dan mencapai puncaknya pada Pilkada DKI 2017 di mana mayat pun dipaksa ikut dalam berpolitik.
Tetapi sebenarnya semua ini bisa diperbaiki dan jika ingin Indonesia tetap menjadi NKRI hal ini harus diperbaiki. Dimulai dari para pemimpin negara yang harusnya memberikan contoh yang baik.
Pemenang yang Bijaksana
Ketika menjadi pemenang pemilu seharusnya semua daerah yang menjadi tanggung jawabnya atau yang diwakilinya tetap diperhatikan. Bukan hanya daerah yang memenangkan dirinya.
Perhatian harus diberikan secara adil, baik kepada pendukung maupun bukan.
Oposisi yang Berkelas
Ketika kalah dalam kontestasi pemilu, biarkan pemenang untuk bekerja dengan baik sambil mengawasi jika ada yang melenceng.
Selama lima tahun pemenang menjalankan pemerintahan. Jika ada yang kurang baik, berikan solusi-solusi alternatif sehingga menjadi promosi diri sebelum masa kampanye pemilu berikutnya dimulai. Rakyat akan mengingat jika solusi-solusi tersebut memang baik, apalagi jika diambil oleh pemegang kekuasaan.
Solusi-solusi ini akan menjadikan rakyat melihat kemampuan oposisi jika diberikan mandat kekuasaan. Apakah memang mampu? Jika hanya sekadar nyinyir, saya pikir hanya membuat rakyat eneg dan sebal serta menunjukkan ketidakmampuan.