Mohon tunggu...
Ronald Wan
Ronald Wan Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Ekonomi dan Teknologi

Love to Read | Try to Write | Twitter: @ronaldwan88

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

China Mengandalkan Serangan Sayap dalam Perang Dagang Melawan Trump

19 September 2018   06:30 Diperbarui: 20 September 2018   10:13 2671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang dagang terus naik eskalasinya. China yang dipimpin oleh Xi Jinping kelihatannya tidak akan menyerah terhadap tekanan AS. Walaupun sekarang ini terlihat hanya bertahan namun sebenarnya tidak.

Sejak awal gonjang ganjing perdagangan dunia dan Trump terus memberikan ancaman serta tekanan terhadap banyak negara, termasuk sekutunya. Terakhir ancaman terhadap Jepang yang merupakan salah satu sekutu setia AS.

Baca "Senjata Perang Dagang China"

China secara halus sebenarnya melakukan perlawanan namun memang tidak melakukan serangan langsung kepada AS. Walaupun tetap membalas terhadap semua tarif AS yang ditujukan kepada barang impor asal China.

Pertama kali yang dilakukan China adalah berusaha mendekati Uni Eropa. Mencoba memberikan konsesi lebih bagus dan berjanji akan membuka pasar China untuk Uni Eropa. Namun tidak terlalu berhasil.

Pendekatan kepada Inggris terlihat cukup berhasil dengan adanya kesepakatan untuk melihat kemungkinan perjanjian perdagangan bebas yang komprehensif antar dua negara. Hal ini dikatakan oleh menteri perdagangan China setelah bertemu dengan menteri perdagangan Inggris Liam Fox pada medio Agustus 2018. Reuters.

Inggris saat ini dalam proses untuk keluar dari Uni Eropa. Sehingga memang ada kepentingan untuk membuka pasar yang lebih luas demi mengurangi dampak negatif Brexit.

Pendekatan ke negara-negara Afrika juga terus dilanjutkan. Mungkin China berharap bisa mengalihkan sebagian kapasitas ekspornya ke Afrika.

Saat ini lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia adalah Asia dengan China dan India yang menjadi penarik utama. Namun dunia selalu berubah, pada awalnya ekonomi dunia berpusat di Eropa, kemudian ke Amerika Serikat dan sekarang ini Asia.

Tidak tertutup kemungkinan suatu saat ekonomi dunia akan berpusat di Afrika. Salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia berasal dari Afrika yaitu Ethiopia yang berhasil tumbuh sebesar 9,8% secara rata-rata tahun 2008-2017.

Semua ini menunjukkan perlawanan China yang mengandalkan serangan sayap.

Sebuah berita Reuters pada tanggal 14 September 2018 semakin menunjukkan bahwa China mengandalkan serangan sayap. China mengundang para praktisi Wall Street untuk memberikan saran bagaimana cara meningkatkan hubungan dagang dengan AS.

Selain itu para undangan juga diminta untuk memberikan usulan, bagaimana China bisa lebih membuka pasar keuangan agar sesuai dengan keinginan para pemangku kepentingan.

 Informasi tentang undangan ini diperoleh dari sumber Reuters yang tidak mau disebutkan namanya, karena sebenarnya pertemuan ini adalah pertemuan tertutup.

Diperkirakan ada  perwakilan dari Citigroup, Goldman Sachs, JPMorgan dan Morgan Stanley yang akan hadir dalam pertemuan ini. Perwakilan ini merupakan perwakilan dari perusahaan-perusahaan investasi kelas dunia.

Reuters

**

Sebuah strategi yang bagus menurut saya. Memanfaatkan kelemahan Trump yang melakukan perang di semua sektor termasuk ke sekutunya.

Di sisi lain pengusaha AS juga sudah mulai gerah dengan perang dagang. Korban sudah terlihat terutama di bidang pertanian kedelai yang mengandalkan China sebagai pembeli terbesar panen mereka. Baca "Pengusaha AS melawan Trump"

Di tambah dengan tekanan politik yang bukan saja terjadi akibat penyelidikan campur tangan Rusia di pilpres. Namun juga terlihat adanya perlawanan atau minimal ketidaksukaan staf gedung putih terhadap Trump.

Mengutip Bloomberg pemerintahan Trump baru saja mengumumkan tarif baru sebesar 10% bagi sekitar US$ 200 miliar yang mulai berlaku mulai tanggal 24 September 2018. Tarif ini baru akan meningkat menjadi 25% di tahun 2019.

Sebuah kesempatan bagi Indonesia, karena tarif baru akan dilipatgandakan tahun 2019 adalah untuk memberikan kesempatan pengusaha AS mencari alternatif tempat produksi baru.

Sebenarnya efek perang dagang AS dan China tidak terlalu besar. Baca "Seberapa besar efek perang dagang ke ekonomi AS dan China".

Namun perang dagang menimbulkan ketidakpastian ekonomi ditambah dengan ketakutan akan terjadinya krisis ekonomi 10 tahunan membuat orang panik. Waspada perlu namun saya pikir tidak perlu panik.

Artikel ini pernah ditayangkan di situs pribadi penulis

Salam

Hanya Sekadar Berbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun