Mohon tunggu...
Ronald Wan
Ronald Wan Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Ekonomi dan Teknologi

Love to Read | Try to Write | Twitter: @ronaldwan88

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Walaupun Ada Berita Baik, Mengapa Dolar AS Tetap Mengamuk?

7 September 2018   06:00 Diperbarui: 7 September 2018   06:39 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi Indonesia dalam minggu ini sebenarnya mendapat dua berita baik, tetapi mengapa dolar AS tetap mengamuk?

Berita baik yang pertama adalah walaupun didera pergolakan ekonomi global dan panasnya suhu politik menjelang pilpres 2019. Pemerintahan Jokowi-JK tetap mampu untuk mempertahankan tingkat inflasi yang cukup rendah.

Badan Pusat Statistik (BPS) tanggal 3 September mencatat bahwa pada bulan Agustus 2018, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,05 persen. Sehingga untuk periode Januari sampai dengan Agustus 2018 Indonesia hanya mengalami inflasi sebesar 2,13%. Sedangkan jika dihitung dari tahun ke tahun inflasi Indonesia mencapai 3,2%.  Kompas.com

Sebuah pencapaian yang baik walaupun dolar AS sudah menembus Rp 14 ribu.

Bandingkan dengan inflasi India yang berada di kisaran 5%, Turki yang mencapai kisaran 17%, Argentina yang inflasinya mencapai sekitar 30% atau bahkan Venezuela yang diperkirakan oleh IMF akan mengalami inflasi sebesar 1 juta persen tahun ini. Baca" Apakah Dolar menguat atau Rupiah Melemah?"

Berita baik yang kedua adalah Fitch sebuah lembaga pemeringkat dunia. Tetap mempertahankan rating Indonesia yaitu BBB (investment grade) dengan outlook stabil. Rating yang dipertahankan ini berarti Fitch percaya bahwa Indonesia akan bisa mengarungi gejolak ekonomi global. Baca"Fitch Mempertahankan Rating Indonesia"

Kedua berita ini seharusnya bisa mengangkat rupiah, tetapi yang terjadi adalah dolar AS tetap menguat.

Apa yang terjadi?

Sejak akhir tahun 2017 pasar telah mengalami apa yang dinamakan ketakutan akan terjadinya krisis ekonomi 10 tahunan. Memang secara historis dunia mengalami krisis setiap 10 tahun sekali. Untuk Indonesia baru dua kali yaitu tahun 1998 dan 2008, ditambah krisis kecil tahun 2013 yang juga mendorong dolar AS menguat terhadap rupiah dari kisaran Rp 9 ribuan ke kisaran Rp 12 ribuan.

Ketakutan terhadap krisis ini bukan hanya dialami oleh pasar. Orang biasa yang mengamati krisis ekonomi, saya rasa juga mengalami kekhawatiran yang sama.

Awal tahun pasar masih optimis bursa dunia termasuk Indonesia menembus rekor terbaik sepanjang sejarah. Namun begitu Donald Trump mengumumkan perang dagang ke China dimulailah turun naiknya bursa bagaikan roller coaster.

Disertai dengan penguatan dolar AS ke hampir semua mata uang dunia termasuk rupiah.

Argentina mengalami krisis dan meminta bantuan IMF di bulan Mei 2018. Dilanjutkan dengan ambruknya Lira Turki yang sempat turun nilai tukarnya sebesar 18% dalam sehari (Jumat 10 Agustus 2018).

Krisis kedua negara berkembang tersebut dikhawatirkan akan menyebar ke negara berkembang lain seperti Afrika Selatan, India dan Indonesia.

Bagaimana dengan pandangan Analis?

Menurut Karine Hirn (East Capital Aset Management), tekanan terhadap ekonomi negara berkembang sebagian disebabkan oleh menguatnya dolar AS, meningkatnya harga minyak tetapi yang utama adalah sentimen dari pelaku pasar.

"Jangan dilupakan bahwa secara umum pasar negara berkembang terpengaruh oleh sentimen negatif (krisis Argentina dan Turki misalnya) karena banyak investor adalah investor asing dan bukan investor domestik. Sekarang ini memang suhu perdagangan internasional sedang meriang akibat meningkatnya tensi dagang." kata Karine

Tetapi Karine menekankan bahwa sampai saat ini dia tidak melihat adanya masalah besar karena secara umum bisnis cukup baik.

Kepala Riset Asia Bank ANZ, Khoon Goh mengatakan kepada CNBC bahwa fundamen ekonomi Indonesia cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di kuartal dua (5,27%).

Tekanan terhadap rupiah adalah ketakutan pasar keuangan terhadap kemungkinan menyebarnya krisis Argentina dan Turki. Ketakutan ini akan menambah beban pemerintah Indonesia dalam menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Vishnu Varathan, Kepala Ekonom dan Strategy Mizuho Bank mengatakan bahwa saat ini ketakutan terhadap risiko penyebaran krisis di negara berkembang terlalu dibesar-besarkan namun memang bisa dimengerti.

"Yang paling penting adalah memitigasi risiko penyebaran krisis. Ambruknya Peso Argentina dan Lira Turki sangat berbeda dengan penurunan nilai tukar rupee India dan rupiah Indonesia." Kata Vishnu.

CNBC.com

********

Ketakutan terhadap penyebaran krisis ini bertambah dengan rencana Trump yang akan mengenakan tarif tambahan atas produk impor asal China sebesar US$ 200 miliar di minggu ini.

Rencana The Fed meningkatkan suku bunga di bulan September 2018 juga menambah kekuatan dolar AS terhadap mata uang dunia.

Waspada boleh namun jangan panik dalam menghadapi gonjang ganjing ekonomi global. Pemerintah juga sudah mengeluarkan aturan pengetatan impor melalui kenaikan PPH impor sebanyak 2,5%-7,5%.

Selain itu kebijakan B20 untuk solar juga bisa mengurangi impor BBM. Dua kebijakan yang  akan bisa mengurangi defisit neraca perdagangan. Bank Indonesia juga tetap akan berusaha keras menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.

Saya yakin Indonesia akan bisa melalui gejolak ekonomi ini dengan selamat.

Salam
Hanya Sekadar Berbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun