Mohon tunggu...
Ronald Wan
Ronald Wan Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Ekonomi dan Teknologi

Love to Read | Try to Write | Twitter: @ronaldwan88

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Modern Bukan Selalu yang Terbaik

29 Januari 2018   09:50 Diperbarui: 30 Januari 2018   08:31 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebudayaan manusia dalam hal memenuhi kebutuhannya sehari hari dimulai dari pengumpulan segala sesuatu dari alam. Mengumpulkan hasil hutan dan berburu adalah beberapa contohnya.

Budaya ini kemudian berkembang dan menjadi pembudidayaan tanaman serta domestikasi hewan. Juga kemudian muncul budaya perdagangan barter, dimana terjadi pertukaran hasil budidaya yang saling menguntungkan. Karena sebuah keluarga kemungkinan kecil untuk bisa memenuhi semua kebutuhan dari hasil ladang dan ternaknya.

Teknologi berkembang dengan ditemukannya mesin uap sehingga perpindahan barang bisa lebih cepat dan masif. Menggunakan kereta api dan kapal laut yang ditenagai oleh mesin uap. Menyebabkan terjadinya spesialisasi dalam perladangan dan peternakan. Perdagangan juga semakin berkembang dengan ditemukannya mata uang yang jauh lebih efisien dibandingkan dengan barter.

Henry Ford mempopulerkan sistem ban berjalan dalam industri mobil. Sistem yang bisa memangkas waktu dan biaya produksi bukan hanya mobil tapi juga barang lain. Orang yang tadinya terbiasa memenuhi kebutuhannya sendiri dari peladangan dan peternakan mulai alih profesi menjadi pekerja di berbagai bidang.

Baru-baru ini Indonesia dikejutkan oleh terjadinya bencana kurang gizi dan ledakan penyakit campak di Papua. Di mana diperkirakan ribuan anak menjadi korban.

Beberapa hari yang lalu di Harian Kompas, ditampilkan sebuah laporan bahwa sebenarnya daerah Asmat itu kaya. Masih banyak ditemukan pohon sagu dan juga ikan yang berlipah di sungai sekitar, sehingga sangat ironis bahwa terjadi kekurangan gizi di daerah yang kaya akan sumber daya pangan.

Saya berpikir sudah terjadi lompatan budaya yang sangat jauh. Suku Asmat yang tadinya terbiasa makan sagu dan ikan yang bisa diperoleh dari alam tanpa mengeluarkan uang. Melompat ke budaya industri yang mana semua kebutuhan hidup sehari-hari harus dibeli dengan uang. Makan nasi dan mie instan yang merupakan kesukaan mereka sekarang ini.

Seharusnya mereka melalui budaya peladangan dan peternakan. Tetapi hal itu tidak terjadi sehingga sulit bagi mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi dengan masih jeleknya infrastruktur Papua yang menyebabkan harga barang sangat mahal, karena transportasi yang sulit.

Paparan budaya industri memang tidak bisa dihindari dan bukan salah Suku Asmat jika mereka juga ingin merasakan apa yang dinikmati oleh orang Indonesia lainnya. Tetapi di sisi lain, kearifan lokal juga sebaiknya tetap dijaga.

Kearifan dan budaya lokal jangan sampai hilang sebelum waktunya. Keahlian untuk memanen sagu dan menangkap ikan serta berburu harus tetap dilestarikan. Sehingga minimal kekurangan gizi tidak terjadi dan para pemuda setempat tetap memiliki keahlian untuk dapat memenuhi kebutuhannya dari alam.

Peranan pimpinan adat, pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat tetap diperlukan dalam mempertahankan budaya dan kearifan lokal. Agar kasus seperti Asmat tidak terjadi lagi.

Budaya modern bukan selalu yang terbaik. Seringkali mempertahankan kearifan dan budaya lokal lebih baik dibandingkan dengan budaya modern.

Salam

Hanya Sekadar Berbagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun