Mohon tunggu...
Ronald Wan
Ronald Wan Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Ekonomi dan Teknologi

Love to Read | Try to Write | Twitter: @ronaldwan88

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Harian Kompas Dilaporkan ke Dewan Pers, Ada Apa?

31 Agustus 2017   10:17 Diperbarui: 2 September 2017   22:45 9740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca harian Kompas pagi ini tanggal 31 Agustus 2017, saya terkejut. Pada tanggal 10 Juli 2017, DPR mengadukan harian Kompas ke Dewan Pers. Dalam surat aduan tersebut, Mahkamah Kehormatan Dewan menilai bahwa berita dan Tajuk Rencana harian Kompas telah menghalangi atau menghina tugas, fungsi dan kewenangan DPR.

Laporan ini terkait dengan berita utama harian Kompas tanggal 4 Juli 2017 yang berjudul "DPR Terus Mencari Kelemahan KPK" dan tajuk rencana tanggal 5 Juli 2017 yang berjudul "Bukan Perwakilan Koruptor". Keduanya membahas tentang rencana kunjungan Pansus Angket ke lembaga pemasyarakatan untuk meminta pandangan dari terpidana korupsi tentang KPK.

Pemeriksaan Dewan Pers terhadap harian Kompas, yang dipimpin oleh Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar dan juga dihadiri oleh Kepala Bagian Media Cetak dan Media Sosial DPR Muhammad Djazuli sebagai pengadu dan Pemimpin Redaksi harian Kompas Budiman Tanuredjo selaku teradu. Mengambil kesimpulan bahwa harian Kompas tidak bersalah.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan dan klarifikasi tersebut, Dewan Pers tidak menemukan niat teradu untuk menghalangi dan menghina tugas, fungsi, dan kewenangan DPR dalam berita ataupun tajuk yang dibuat teradu dan tidak ditemukan pelanggaran kode etik jurnalistik." Demikian Risalah Penyelesaian Pengaduan DPR terhadap Kompasyang ditandatangani Achmad, Djazuli, dan Budiman di Jakarta, Rabu (30/8).

Ada apa dengan DPR?

Setelah mulai terbongkarnya kasus mega korupsi e-KTP yang sangat canggih. Korupsi yang sudah dirancang sejak perencanaan dan melibatkan lembaga eksekutif, legislatif dan korporasi, membuktikan bahwa korupsi masih merupakan penyakit bangsa ini.

DPR ketika KPK tidak bersedia membuka BAP Miryam Haryani, langsung bereaksi dengan menggunakan hak angket kepada KPK. Hak Angket yang menurut para pakar hukum tata negara yang dipimpin oleh Mahfud MD tidak sah digunakan kepada KPK.

Elza Syarief dalam wawancara dengan Aiman di Kompas TV dalam topik " Musuh dalam Selimut" di KPK, mengatakan bahwa kasus korupsi e-KTP menyebabkan hidupnya tertekan dan banyak ancaman yang dialami. Jika dibandingkan maka kasus Hambalang masih lebih rendah tekanannya menurut Elza.

Johannes Marliem salah seorang saksi kunci kasus e-KTP, tewas dengan dugaan bunuh diri di rumahnya di Amerika Serikat. Novel Baswedan disiram dengan air keras dan sampai saat ini masih belum jelas siapa pelakunya. Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP.

Aris Budiman (AD) Direktur Penyidikan KPK, dalam pertemuannya dengan pansus angket KPK membantah dugaan dirinya menemui Komisi III DPR dalam rangka kasus e-KTP dan juga membantah menerima uang Rp. 2 Milyar. AD memenuhi undangan pansus angket dengan melanggar perintah pimpinan KPK.

Aris Budiman langsung dipanggil ke Sidang Dewan Pertimbangan Pegawai KPK, Rabu 30 Agustus 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun