Ketua Asosiasi Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, pada saat diminta komentar mengenai kerugian Seven Eleven di Indonesia. Mengatakan bahwa "Daya beli masyarakat sebenarnya tidak turun. Kita tidak turun gaji. UMP (Upah Minimum Provinsi) naik minimal sebesar inflasi plus pertumbuhan ekonomi, jadi kira-kira 8 persen. Tapi yang terjadi adalah sentimen masyarakat yang mengubah perilaku konsumsi, kebiasaan membeli, behavior berbelanja, akhirnya mengurangi atau menunda pembelanjaan," kata Roy saat ditemui di Gedung BPS, Jakarta, Kamis (26/4/2017).
"Secara makro ekonomi kita bagus. Rasio gini turun, kemiskinan turun, ease of doing business makin mudah, inflasi terjaga, apa yang terjadi? Mikronya yang jelek, ada faktor intangible, tidak bisa diukur dengan statistik. Faktor intangible itu yang disebut sentimen. Misalnya sentimen terhadap kegaduhan politik. Itu membuat masyarakat memilih untuk lebih baik menabung, mengalihkan uang yang biasanya dikonsumsi dengan aset seperti emas," jelas Roy. Sumber
Saya sepakat dengan Roy, bahwa sebenarnya daya beli masyarakat sebenarnya tidak turun. Khusus untuk masyarakat menengah ke atas. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, sekitar 50% nya disumbang oleh belanja masyarakat, dengan menahan belanja dan menyimpannya maka ekonomi tidak bertumbuh secepat yang diinginkan pemerintah.
Selain dari data simpanan uang di bank, tidak terjadi penurunan signifikan penjualan mobil. Juga mencerminkan bahwa masyarakat menengah atas tetap memiliki penghasilan yang baik. Namun cenderung menyimpan uangnya, tidak berbelanja seperti biasanya.
Faktor politik yang panas, pilkada DKI yang menyebabkan demo berjilid memang menyebabkan masyarakat khawatir. Apalagi trauma kerusuhan 1998 masih belum terhapus. Masih takutnya masyarakat menengah keatas untuk jor-jor an belanja juga disebabkan oleh masalah ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih ditambah dengan makin populernya kata-kata "First" seperti "American First". Yang bisa menyebabkan semakin lama pulihnya perdagangan global.
Menurut pendapat saya faktor-faktor di atas hanyalah faktor minor. Penyebab utama masyarakat enggan berbelanja adalah tingginya kurs dollar Amerika Serikat. Mengapa? Karena ada faktor psikologis bahwa jika kurs dollar lebih dari Rp. 10,000,- per 1 USD, maka perekonomian Indonesia buruk.
Apakah kita harus khawatir dengan kurs dollar yang tinggi?
Harga
Harga barang sekarang ini sudah mencerminkan kurs dollar sekarang. Artinya selama kurs dollar tidak bergejolak, harga tidak akan naik secara tiba-tiba. Tidak seperti tahun 1998, kurs dollar yang melonjak sangat tinggi sehingga menyebabkan harga juga melonjak tinggi.
Eksportir
Kurs dollar  yang tinggi membuat eksportir bergairah, kecuali eksportir komoditas yang harganya belum pulih ke titik normal. Biaya produksi yang dikeluarkan dibayarkan dalam rupiah. Dengan tingginya kurs dollar berarti harga yang ditawarkan bisa sangat bersaing dan bisa menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi.
Importir
Selama kurs dollar stabil, importir terutama importir produsen tidak akan mengalami masalah. Pengalaman saya bekerja di salah satu perusahaan import, selama kurs dollar tidak bergejolak kami masih bisa menjual barang dengan harga yang cukup bersaing.
Kesimpulannya, kurs dollar yang tinggi tidak perlu dikhawatirkan asalkan tidak bergejolak seperti tahun 1998 atau atau tahun 2008.
Apalagi ekonomi Indonesia sudah dinilai baik, terbukti dari diberikannya "investment grade" bagi surat utang Indonesia dari beberapa lembaga pemeringkat surat utang." Investment grade" artinya surat utang Indonesia layak dipertimbangkan sebagai alat investasi.
Kepercayaan investor asing juga meningkat, sampai dengan 27 April 2017, dana asing yang masuk ke bursa saham Indonesia sudah mencapai 21,988 triliun rupiah (data statistik BEI)
Salam
Hanya sekedar berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H