Mohon tunggu...
Ronald Wan
Ronald Wan Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Ekonomi dan Teknologi

Love to Read | Try to Write | Twitter: @ronaldwan88

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Memiskinkan Koruptor, Bisa Membuat Keluarga jadi Nurani Pencegah Korupsi?

10 April 2017   06:50 Diperbarui: 10 April 2017   14:30 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan sebelumnya "Terbongkarnya Skandal E-KTP dan Terobosan Baru dalam Penanganan Korupsi di Indonesia". Saya mengatakan bahwa, sekarang ini hukuman pemiskinan sudah mulai dilakukan. Menurut saya bukan saja harta yang terbukti hasil korupsi disita oleh negara, tetapi juga koruptor harus bisa melakukan pembuktian terbalik bahwa harta lainnya bukan hasil korupsi. Jika tidak dapat dibuktikan maka semua harta akan dapat disita oleh negara.

Membaca beberapa tulisan tentang pemiskinan koruptor yang disajikan oleh Kompasianer. Membuat saya berpikir ulang.

Apakah mungkin jika koruptor dimiskinkan bisa membuat keluarga mencegah terjadinya korupsi?

Fakta dalam beberapa persidangan membuktikan bahwa banyak terjadi. Hasil korupsi diatasnamakan keluarga untuk mempersulit aparat hukum mengendus terjadinya korupsi. Nama istri, anak, orang tua, mertua bahkan  istri muda dan istri siri digunakan untuk menyembunyikan hasil korupsi.

Apakah keluarga malah menjadi faktor penyebab korupsi? 

Tidak bisa dipungkiri, sekarang ini banyak orang yang terjebak dalam pola hidup konsumtif. Juga tidak bisa dibantah bahwa gengsi sering menjadi alasan orang untuk berbuat curang.

Misalkan tuntutan istri, " Pah, pejabat B tuh jabatannya sama tapi punya rumah lebih bagus" atau " Pah, tas ku kurang elit nih, tolong belikan LV dong" dan sebagainya.

Misalkan tuntutan anak " Pah, itu anak pejabat B sudah pakai BMW untuk sekolah, masak aku cuma Avanza". dan lainnya

Kedua contoh di atas mungkin saja terjadi dan itu belum termasuk tuntutan dari keluarga yang lainnya. Serta gengsi dari yang punya jabatan. Sehingga menyebabkan terjadinya korupsi.

Jika pemikiran saya tentang pemiskinan bisa diterima, maka misalkan koruptor mempunyai harta 10 miliar rupiah. Persidangan hanya bisa membuktikan bahwa 5 miliar rupiah yang merupakan hasil korupsi. Sisanya, karena tidak bisa dibuktikan oleh koruptor bukan merupakan hasil korupsi juga akan disita oleh negara. Keluarga akan jatuh miskin.

Hukuman pemiskinan yang dijalankan dengan konsisten, dan diumumkan di media masa. Menurut pendapat saya akan bisa menyebabkan keluarga berpikir. Apakah resiko sesuai dengan hasil korupsi?

Apalagi jika harta orang tua dan mertua yang namanya dipakai untuk menyembunyikan hasil korupsi juga turut disita.  Kalau tidak bisa dibuktikan bukan hasil korupsi, menurut pendapat saya bisa menimbulkan efek jera.

Membuat keluarga menjadi nurani untuk pencegahan korupsi.

Bagi yang kontra dengan alasan tidak berperikemanusiaan. Saya ingin mencoba memberi solusi, jika memang semua harta tidak bisa dibuktikan bukan hasil korupsi dan disita oleh negara. Maka keluarga bisa mendapatkan rumah sederhana mungkin dengan ukuran 36m2, istri atau suami diberi pekerjaan untuk menyambung hidup dan anak dijamin sekolahnya sampai selesai S1.

Selain hukuman pemiskinan, hukuman tambahan yang mungkin dilakukan adalah hukuman sosial. Setiap orang yang namanya digunakan untuk menyembunyikan hasil korupsi dan sudah dibuktikan di pengadilan, akan diumumkan di situs aparat hukum beserta foto yang bersangkutan. 

Terakhir, aparat hukum sebenarnya juga bisa menuntut orang  yang namanya digunakan untuk menyembunyikan korupsi dengan tuduhan pencucian uang. Berharap jika semua ini dilakukan akan membuat orang berpikir 100 kali sebelum meminjamkan namanya.

Tidak ada negara yang 100 persen bersih dari korupsi. Harapan saya Indonesia bisa masuk dalam 10 negara yang terbersih dari korupsi.

Salam

Sebuah pemikiran untuk kemajuan Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun