Pajak , dirindu tapi dibenci.
Tidak ada orang yang suka membayar pajak, mungkin hampir semua orang mempunyai pikiran " saya bekerja capek-capek, kok dengan enaknya pemerintah memajaki penghasilan saya".
Pajak yang dibenci.
Di sisi lain banyak orang yang mengeluh " Jalanan rusak kok tidak diperbaiki, mengapa masih banjir terus ya, seharusnya pemerintah memperbaiki mutu pendidikan, seharusnya pemerintah memberikan subsidi kepada rakyat miskin dan lainnya". Apakah kita sadar bahwa semua yang dikeluhkan membutuhkan biaya yang salah satunya bersumber dari pajak?
Pajak yang dirindu.
Pajak sebagai sumber pembiayaan negara sudah berlaku dari masa kerajaan-kerajaan masih berjaya. Di Amerika Serikat (AS),  badan pemungut pajak disebut IRS (Internal Revenue Service) yang berada di bawah department of treasury. IRS sangat disegani di AS, karena sangat teliti dan bersih. Begitu diseganinya IRS, sampai muncul perkataan " Di dunia ini hanya ada 2 hal yang pasti, pajak dan kematian". Rasio pajak AS terhadap PDB (produk domestik bruto) sudah mencapai 26% .
Di sisi lain, sudah matangnya sistem perpajakan dan badan pemungut pajak di AS tidaklah menyurutkan usaha untuk menghindari pajak. Banyaknya pengacara pajak dan perusahaan akunting pajak  di AS membuktikan hal ini. Pengacara dan akuntan pajak selalu akan berusaha mencari celah aturan perpajakan.
Timbulnya ide untuk memindahkan pusat perusahaan ke negara yang disebut "Tax Heaven"adalah hasil dari pemikiran para pengacara dan akuntan pajak. Untuk mengurangi pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan.
Pajak di AS digunakan untuk program pembangunan dan juga program jaminan sosial.
Bagaimana di Indonesia.
Pajak diharapkan bisa menyumbang 1498,9 triliun rupiah atau sekitar 72% dari APBN 2017, yang berjumlah 2080,5 triliun rupiah. APBN akan digunakan untuk membiayai negara dalam usaha untuk melayani rakyat.
Di sini fungsi pajak sebagai alat untuk menjalankan sila kelima dalam Pancasila " Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" seharusnya bisa berjalan. Karena pajak akan menarik uang yang lebih banyak dari orang kaya, yang akan digunakan untuk pembangunan serta memberikan subsidi agar rakyat yang masih kurang beruntung bisa lebih maju.
Tetapi masih banyaknya korupsi dan masih rendahnya kepatuhan untuk membayar pajak, menyebabkan fungsi pajak untuk keadilan sosial masih belum bisa maksimal. Rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang baru mencapai sekitar 11% pada saat ini membuktikan bahwa kepatuhan dalam membayar pajar masih sangat rendah.
Rendahnya tingkat kepatuhan dalam membayar pajak juga bisa dibuktikan dengan lebih tingginya hasil pajak karyawan (PPH 21) dibandingkan dengan hasil pajak orang pribadi  non karyawan(PPH 25).
Di sini timbul rasa ketidakadilan dalam memandang usaha Ditjen Pajak untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Ditjen Pajak jangan hanya mengejar kepatuhan karyawan tapi juga harus mengejar kepatuhan pajak non karyawan. Potensi pajak dari para pengusaha dan profesional sangatlah tinggi, termasuk di dalamnya UKM. Menurut aturan pajak, usaha memiliki omzet sampai dengan 4,8 miliar rupiah adalah UKM. Adanya berita yang menyebutkan 8 orang terkaya di Indonesia tidak memiliki NPWP, juga meningkatkan rasa ketidakadilan dalam mengejar kepatuhan membayar pajak.
Tetapi harus diakui sudah mulai ada usaha untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Tax amnesty diharapkan bisa memberikan data tambahan untuk mengejar wajib pajak yang masih belum patuh. Dengan melihat nilai kekayaan yang dilaporkan dalam tax amnesty, Ditjen Pajak akan bisa melakukan analisa apakah pajak yang dilaporkan selama ini sudah sesuai.
Selain dari itu dengan percepatan waktu pembukaan data nasabah bank untuk keperluan penyelidikan pajak juga bisa diharapkan untuk meningkatkan kepatuhan membayar pajak.
Untuk meningkatkan rasa keadilan dalam usaha meningkatkan kepatuhan pajak. Ditjen Pajak juga seharusnya mulai fokus pada pemilik NPWP yang tidak patuh dalam melakukan pelaporan SPT (surat pemberitahuan pajak). Di Indonesia baru sekitar 60% pemilik NPWP yang wajib melapor SPT, melakukan kewajibannya.
Pada APBN 2017 penerimaan dari hutang diperkirakan sekitar 330 triliun rupiah
Dengan tingkat rasio pajak terhadap PDB 11 % penerimaan pajak 2016 adalah sekitar 1032,2 triliun rupiah. Jika rasio pajak bisa ditingkatkan menjadi 15 % maka perkiraan penerimaan pajak bisa mencapai sekitar 1400 triliun rupiah. Indonesia tidak perlu lagi berhutang untuk membiayai pembangunan.
Image Ditjen Pajak sebagai lembaga yang bersih juga diperlukan untuk peningkatan kepatuhan membayar pajak.
Teringat  ucapan John F. Kennedy
"ask not what your country can do for you -- ask what you can do for your country."
Sudahkah Anda membayar pajak?
Sumber bacaan 1Â 2Â 3Â 4Â 56Â Â
Sebuah pemikiran untuk kemajuan Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H