Mohon tunggu...
Ronaldus AdipatiKunjung
Ronaldus AdipatiKunjung Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Orang biasa yang tertarik pada dunia tulis menulis dan suka menulis yang tidak penting

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lejong: Mengurai Benang Kusut Ke-Indonesia-an (Sebuah Solusi Kultural)

26 Mei 2022   18:32 Diperbarui: 26 Mei 2022   18:36 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar 

Bangsa kita sudah lama berbeda. Sudah lama pula kita menganggap beda sebagai sebuah seni. Sebagai sebuah seni, bangsa kita telah mementaskan perbedaan menjadi lakon kehidupan yang paling demokratis. Tak urung kita menjadi Negara demokratis ketiga di dunia setelah Amerika dan India. Kita pun mengafirmasi itu. Tetapi akhir-akhir ini, perbedaan kita mulai terusik. Gelombang-gelombang pengusik beda makin nyaring terdengar, anak bangsa pun makin resah. Slogan-slogan mayor dan minor menggema  di langit Nusantara. Hampir tak ada yang mau mengalah. Perkara bela membela, lapor melapor makin akrab di bumi Nusantara meski kata maaf sudah berkumandang. Kita tak tahu pasti sejak kapan lapor melapor jadi budaya dankata maaf diabaikan.

Kita juga tak tahu pasti, sejak kapan parade demonstrasi jadi budaya. Curiga dan syak wasangka makin akrab. Rangkaian aksi demonstrasi dan juga klaim siapa pemilik sahih Republik ini makin menguat. Setiap kelompok masing-masing ingin tampil dan mengklaim diri dan kelompoknya sebagai yang paling pas dan berhak memerintah bangsa ini. Selain itu, muncul niatan-niatan sekelompok orang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara ber-syariah dan hendak mengubah Pancasila sebagai dasar Negara. Sebagai Negara demokratis kita memang sudah diberi hak untuk bersuara dan berpendapat. Kita tidak melarang kelompok atau orang-orang yang hendak menyuarakan pendapatnya. Negara pun menjamin itu.

Akar Permasalahan

Gelombang permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Demonstrasi yang disertai dengan kekerasan  adalah sebuah tanda bahwa indonesia belumlah benar-benar menjadi Indonesia (I). Jika dilihat lebih jauh, ada beberapa permasalahan mendasar yang melatari terjadinya rangkaian aksi massa belakangan ini.

Pertama, Sumber Daya Manusia yang rendah. Sumber Daya Manusia adalah potensi yang dimiliki seseorang untuk berperilaku dalam lingkungan sosialnya.

Sumber Daya Manusia tidak bisa dilepas pisahkan dari pendidikan. Akses pendidikan yang belum merata, tingkat melek huruf dan angka yang belum menjangkau lapisan masyarakat bawah, menjadi penanda utama bahwa bangsa kita masih belum memegang teguh amanat UUD 1945 tentang upaya mencerdaskan bangsa. Dalam laporan Penelitian yang dipublikasikan dalam International Seminar and Report Launch, ada tiga permasalahan utama yang menjadi tolok ukur rendahnya indeks pendidikan kita yaitu:

Pertama, belum meratanya ketersediaan guru, lingkungan sekolah yang ramah anak, dan adaptability yaitu akses pendidikan bagi kaum-kaum marginal di Indonesia. Dalam Laporan itu, Indonesia menempati urutan tujuh di bawah Ethiopia dan Filipina. Lemahnya SDM membuat masyarakat kita yang belum melek huruf dan angka dengan mudah menerima informasi-informasi yang masuk tanpa menyeleksi kebenaran dan keberimbangannya.

Kedua, akar permasalahan berikutnya adalah kemiskinan. Percaya atau tidak, kemiskinan mempengaruhi merebaknya situasi kekacauan kita belakangan ini. World Bank Institute dalam rilisnya Introduction to Poverty Analysis (2005) mengatakan bahwa orang miskin adalah orang-orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya manusia seperti makan, minum, sanitasi, rumah layak huni, informasi dan kesehatan. Kesenjangan yang timbul dalam masyarakat dan minimnya perhatian dari pemerintah membuat mereka merasa tersingkir dari pergaulan sosialnya. Efek lanjut dari ketimpangan sosial ini adalah masyarakat mudah terprovokasi dan mudah digiring untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma-norma sosial dan hokum.

Ketiga, masalah berikutnya yang terjadi datang dari bidang hokum dan politik. Masifnya praktek korupsi, Kolusi, dan Nepotisme membuat bangsa kita tidak maju-maju. Penegakan hokum yang tebang pilih, aturan Perundang-Undangan belum maksimal memfasilitasi kepentingan publik dalam hal ini kelompok masyarakat kecil. Aturan perundang-undangan yang diproduksi cenderung mengadvokasi kepentingan para pemilik modal ketimbang nasib anak bangsa yang terpinggirkan. Banyak pasal dan ayat dalam aturan perundang-undangan yang diduga sengaja diproduksi untuk melindungi kelompok kaya dan pemilik modal. Selain itu, pola-pola penegakan hokum yang berkiblat pada tekanan massa belakangan ini makin menguat di Republik ini.

Ini adalah contoh baru kemunduran penegakan hukum kita. Politik sejatinya adalah kegiatan  untuk mengambil keputusan-keputusan strategis demi kemaslahatan masyarakat banyak. Tetapi pada kenyataannya, politisi-politisi kita hanya hadir untuk sebagian kecil orang saja. Hal yang masih santer dibicarakan belakangan ini adalah merebaknya isu sensitive terkait SARA untuk kepentingan politis. Isu yang seksi ini digiring untuk mempengaruhi pemilih dalam Pemilu. Sebenarnya ini adalah cermin ketidakmampuan politisi untuk memproduksi visi dan misi guna kepentingan masyarakat banyak. Patut disesalkan.

Tawaran Solusi: Lejong

Sadar atau tidak kita sebagai masyarakat sudah lama mendekam dalam kesendirian. Kita sudah lama mengkotak dan dikotak dalam sebuah 'getho", lingkungan sosial yang sempit dan primitif. Dalam lingkungan itu, kita mungkin haram menerima beda. Doktrin-doktrin yang diberikan oleh pemuka kita masing-masing menekankan bahwa beda itu tabu. Beda itu sebuah keniscayaan. 

Di sinilah kita butuh "lejong". "Lejong"  dalam kosa kata bahasa Manggarai berarti percakapan ringan dua orang atau lebih. Sebagai percakapan ringan, lejong tak butuh notulis, tak butuh moderator, tak butuh media massa meliputi, apalagi aksi aksi massa bergelombang. Lejong dalam tradisi Manggarai biasanya dilakukan untuk bertukar informasi ditemani kopi. Dalam lejong, persoalan berat hingga ringan terkadang mampu diselesaikan hanya dengan secangkir kopi ditemani "mbako" (rokok). Suka atau tidak, tradisi ini sangat mengakar dan akrab di Manggarai, Selat sape'n sale Wae Mokel'n awo (Dari Batas Barat Selat Sape sampai Batas Timur Wae Mokel).

Untuk menyelesaikan persoalan bangsa kita ini dibutuhkan niat baik pemerintah untuk melakukan lejong dengan masyarakat. Masyarakat membutuhkan pemerintah yang punya niat baik, ada bersama masyarakat saat-saat tertentu dan mendengarkan kata hati masyarakat. Untuk hal ini, barangkali kita perlu belajar ke daerah Manggarai yang sebulan sekali Bupati dan Wakilnya berkantor di Desa untuk menyerap aspirasi masyarakat. Dalam melakukan Lejong dengan masyarakat, pemerintah harus punya konsep lejong yang jelas tidak sekedar hura-hura menghabiskan dana. Pemerintah harus punya tujuan meski tidak harus dibungkus dengan tata protokoler yang ketat. 

Berkaitan dengan itu, ada beberapa tawaran yang hendak penulis berikan kepada pemerintah terutama bagaimana lejong dengan masyarakat.           

Pertama, pemerintah harus lejong tentang education (pendidikan). Para pemangku kepentingan dan kebijakan publik harus bisa mendekati masyarakat dengan membawa misi edukasi. Para pengampu kebijakan harus turun ke masyarakat untuk memberi pendidikan kepada masyarakat, khususnya pendidikan terkait relasi sosial dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat harus diberikan pendidikan bahwa beda adalah seni, keragaman adalah kekahasan. Sebagai manusia kita tak mungkin seragam. Kehidupan berbangsa khususnya bangsa kita tidak hanya lahir dari darah dan air mata golongan tertentu saja tetapi itu adalah buah pengorbanan semua suku, agama, dan ras yang ada.

Kedua, Lejong tentang  empowerment (pemberdayaan). Setelah memberikan pendidikan kepada masyarakat, pemerintah perlu melakukan pemberdayaan. Berdayakan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan dan beri mereka usaha. Ketika masyarakat mempunyai keterampilan, maka mereka akan dengan mudah diterima di dunia usaha berbasis UKM. Gali potensi-potensi yang ada dalam masyarakat seperti ide, kreativitas, dan kompetensi yang mereka miliki untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Ketika itu berjalan maka masyarakat tidak sibuk lagi dengan kegiatan-kegiatan yang hanya menyita waktu dan tenaga, kegiatan-kegiatan radikal dan merongrong nuasa perbedaan.

Ketiga, lejong berkaitan dengan Nasionalism (Nasionalisme). Di atas semuanya itu, pemerintah harus menanamkan jiwa nasionalisme dalam diri masyarakat. Nasionalisme adalah kemampuan masyarakat untuk menjunjung tinggi bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongan. Nasionalisme bukan hanya milik golongan dan suku tertentu. Nasionalisme adalah condition sine qua non  dalam kehidupan berbangsa. Tanpa nasionalisme, kita sebagai bangsa akan mudah retak dan terpecah. Melalui lejong dari pemangku kepentingan, masyarakat menjadi sadar bahwa Indonesia adalah milik kita bukan milik saya, kamu, dia, atau juga mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun