Mohon tunggu...
Ronaldus AdipatiKunjung
Ronaldus AdipatiKunjung Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Orang biasa yang tertarik pada dunia tulis menulis dan suka menulis yang tidak penting

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wada*

25 Mei 2022   08:06 Diperbarui: 25 Mei 2022   08:16 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya memikirkan masa depan Ma, masa depan kita nanti. Masa depan dari buah hati kita. Meski masih dalam perut, aku tak mau ia terlahir langsung melihat orang tuanya tidak punya persiapan menyambut kedatangannya. Apa kata Tuhan, nantinya? Ia telah berbaik hati menitipkan anak ini pada kita.", katanya lebih lanjut.

Aku ingat malam itu, malam ketika semuanya tak punya titik temu dan kata sepakat. Awalnya berat memang tetapi lambat laun aku mulai pasrah pada keinginannya.
Ahhh, air mata tumpah membasahi bantal tidurku, malam ini.

Tiga tahun sudah kami berpisah. Uang bulanan kirimannya masih bisa mencukupi kebutuhan mendasar, aku dan anakku. Dan malam ini, entah kenapa ia begitu terlambat mengirim statusnya atau juga sekedar text ke handphone-ku. Akupun sudah lelah untk menunggu momen terpenting di kronologi facebook-ku. Aku mulai dipeluk kantuk. Tiba-tiba, HP-ku berdering. Sebuah nomor baru memanggil pada jam selarut ini. Perlahan ku angkat.

"Hallo, selamat malam. Dengan siapa?, kataku dengan suara yang mulai melemah.

"Maaf, ini dengan istrinya, Pa Ricky?", suara pria di seberang sana menyahutku.

"Ia, ini dengan istrinya", kata saya mulai penasaran. "Kenapa?", lanjutku.
"Ibu, maaf. Suami anda kecelakaan, korban tabrak lari. Saya menemukannya tergeletak di jalan kemudian saya hantar ke Rumah Sakit. Nomor ibu saya ambil dari HP-nya. Maaf, ibu, saya hanya menyampaikan: Nyawanya tidak tertolong. Dia sudah...........hhhhh.... me -- ning -- gal.", suara itu begitu pelan dan perlahan mengeja kalimat terakhirnya.

Semenjak kejadian itu, aku belajar satu hal: Pernikahan bukan satu-satunya jalan menuju bahagia. Pernikahan juga bisa menjadi jalan bagi terbukanya pintu duka -- juga tanggung jawab. Takdir kehidupan -- juga pernikahan - selalu mengikuti. "Wada" barangkali itu kata yang tepat untuk perjalanan hidupku.

Catatan:

Wada* dari bahasa Manggarai yang artinya nasib, takdir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun