Metode
Membahas materi rancangan undang-undang yang hanya mengandalkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), seperti yang diatur dalam Pasal 136 ayat (1) huruf b Tata Tertib, tidak akan banyak membantu.
Apa yang dipraktekan oleh Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD/RUU Susduk (UU No. 27 Tahun 2009) layak dijadikan sebagai pertimbangan untuk meninjau kembali penggunaan DIM. Pansus melakukan terobosan dalam membahas muatan RUU Susduk. Tidak lagi terpaku pada DIM, tapi mengkombinasikan pembahasan melalui kluster/pengelompokan ketentuan berdasarkan jenis kelembagaan (MPR, DPR, DPD, DPRD, dan Kesekretariatan) menjadi metode alternatif dalam membahas RUU tersebut. DPR dan Pemerintah mengidentifikasi lebih dulu isu-isu krusial apa saja yang terdapat dalam klusteryang diperkirakan memiliki tingkat kepentingan dan sensitivitas politik serta mendapat perhatian publik yang tinggi. Sedangkan hal-hal teknis menyangkut bahasa dan kalimat perundang-undangan diserahkan kepada tim teknis.
Jika kita simulasikan pada pembahasan RUUK DIY, maka persoalan tentang penetapan atau pemilihan gubernur/wakil gubernur DIY harus diselesaikan lebih dulu, termasuk kelompok isu-isu krusial lainnya. Atau bisa pula dipilah mana materi RUUK DIY yang tidak ada ketergantungan dengan persoalan-persoalan "kelas berat" seperti posisi gubernur. Konsekuensinya, Pemerintah dan DPR harus mengeluarkan energi lebih besar. Tapi apapun strategi yang dipilih punya kelebihan dan kekurangan.
Lobby
Jalur lobby bisa saja ditempuh, karena sulitnya mencapai titik temu antar fraksi atau DPR dengan Pemerintah dalam membahas materi RUUK DIY. Yang harus diperhatikan, serumit apapun persoalan yang dihadapi, (arena) lobby dilakukan dan menghasilkan kesepakatan, di gedung DPR, bukan diselesaikan di luar DPR. Bahkan lobby untuk menyepakati dilakukannya voting, sebagai salah satu cara pengambilan keputusan, sebisa mungkin dilakukan melalui rapat-rapat di DPR. Tidak seperti yang pernah terjadi pada pembahasan RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dimana saat itu, pada awal Maret 2008, telah berlangsung pembicaraan di rumah Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait mekanisme penentuan calon terpilih (selengkapnya bisa dilihat pada http://bit.ly/evJlmU).
Lobby yang dilakukan, seperti pada contoh di atas, saat pembahasan RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, cenderung menciptakan hegemoni dan ketidaksetaraan peran diantara fraksi-fraksi di DPR. Selain itu, kesepakatan yang diperoleh dari mekanisme lobby yang dijalani di DPR, memperlihatkan sikap konsisten terhadap (keberlanjutan) forum pembahasan rancangan undang-undang (dalam hal ini RUUK DIY) serta membangun tradisi parlemen dalam menghasilkan produk legislasi. Selagi materi RUUK DIY masih diperdebatkan di dalam DPR, relatif lebih menjamin kemudahan masyarakat untuk mengetahui fluktuasi pembahasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H