Dasar Hukum Tenaga Ahli
Pasal 395 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD (populer dengan sebutan UU MD3) dan Pasal 293 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPR dan DPR, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli yang diperbantukan terutama kepada anggota.
Pertanyaannya adalah apakah tepat dan strategis menempatkan tenaga ahli pada setiap anggota DPR, bahkan mencapai tiga orang dan ini yang menjadi alasan teranyar DPR membangun gedung baru? Jawaban atas pertanyaan ini akan membenarkan Pasal 395 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) atau justru sebaliknya mengkoreksi dua ketentuan tersebut.
Pertimbangan dan Masukan
Secara umum, wilayah pengadaan tenaga ahli mencakup kebutuhan anggota DPR dan alat kelengkapan. Dengan kata lain, penerima manfaat dari apa yang dihasilkan tenaga ahli, adalah individu (anggota DPR) dan non individu, yaitu wadah berhimpunnya anggota DPR (yang terdiri atas pimpinan dan anggota) dalam pembidangan fungsi dan sektor yang diikat dengan sejumlah tugas.
Selain faktor kompetensi, anggota DPR tentunya mengharapkan dukungan tenaga ahli yang dapat dipercaya dan menitikberatkan pula pada kenyamanan dalam berinteraksi. Hal ini wajar, karena relasi yang terbangun antara anggota DPR dengan tenaga ahli tidak berlangsung secara singkat, intensif, dan terkondisikan saling tergantung. Ada preferensi yang muncul dari anggota DPR terkait profil tenaga ahli yang diinginkan.
Persoalan kemudian muncul apabila preferensi anggota DPR tidak bertemu atau tidak berada pada jenjang penyesuaian yang selevel dengan kualifikasi yang disyaratkan. Padahal kualifikasi akan berpengaruh terhadap beban kerja dan (formulasi) renumerasi, yang semuanya akan ditentukan oleh Setjen DPR.
Preferensi anggota DPR bisa jadi sangat jauh dari standar minimal kualifikasi tenaga ahli, termasuk menjadikan individu-individu yang memiliki relasi khusus (misalnya ada hubungan keluarga, pertemanan, dan lainnya) sebagai tenaga ahli.
Permasalahan lain yang muncul sebagai konsekuensi tenaga ahli ditempatkan pada anggota DPR adalah model layanan yang diberikan antara satu tenaga ahli dengan tenaga ahli lainnya berbeda. Kemungkinan penyebab adalah mulai dari (i) ketiadaan instrumen bagi anggota DPR dan tenaga ahli dalam menjalankan peran masing-masing (ii) ketidakmampuan anggota DPR menjalankan petunjuk operasional bagaimana memberdayakan tenaga ahli hingga (iii) disorientasi relasi (yang seharusnya terbangun) antara anggota DPR dengan tenaga ahli.
Penempatan tenaga ahli di alat kelengkapan DPR lebih direkomendasikan, ketimbang kepada anggota DPR. Ada sejumlah tenaga ahli yang bekerja dan melayani kebutuhan beberapa orang anggota DPR dalam satu kelompok (alat kelengkapan). Di sini, faktor preferensi tidak terlalu dipersoalkan, karena pertimbangan kualifikasi dan kompetensi menjadi penentu dominan layak atau tidak seorang bekerja (sebagai tenaga ahli) yang ditempatkan di alat kelengkapan. Yang terpenting adalah output yang dihasilkan tersaji sesegera mungkin dan bisa dipahami dengan baik oleh anggota DPR.
Kelebihan dari penempatan tenaga ahli di alat kelengkapan adalah relasi yang terbangun antara tenaga ahli dengan anggota DPR bisa lebih terjaga dan terpantau, khususnya dalam konteks memberikan dukungan substansial keparlemenan. Tenaga ahli yang ternyata tidak mampu bekerja maksimal atau mengalami disorientasi relasi bisa diketahui dengan segera, sehingga penanganan yang diperlukan bisa dilakukan saat itu juga. Selain itu, pemahaman antara tenaga ahli yang satu dengan yang lainnya terhadap standar layanan, mekanisme kerja, dan output yang dihasilkan, berada pada obyek yang sama, karena peluang untuk saling mengontrol kinerja masing-masing tenaga ahli, lebih besar. Keluhan anggota DPR terhadap layanan tenaga ahli bisa direspon dan ditangani secara kolektif. Anggota DPR tidak terbeban untuk mendalami rangkaian instrumen mendayagunakan tenaga ahli, karena sekretariat alat kelengkapan telah menyiapkan skema kerja tenaga ahli.