Adanya ajakan untuk think out of the box tidak terlepas dari belum melembaganya peran monev dalam manajemen legislasi. Tidak ada suatu mekanisme yang menginformasikan apakah episode legislasi terlaksana secara kondusif, sehingga berdampak positif terhadap proses pembahasan rancangan undang-undang hingga implementasinya nanti.
Ketika muncul salah satu pertanyaan seperti "pembahasan rancangan undang-undang yang selalu menggunakan pola Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) masih bisa dirombak atau ada alternatif lain?" maka patut dipertanyakan apakah selama ini peran monev telah disasarkan untuk mendiagnosa kelemahan pembahasan rancangan undang-undang berbasis DIM? Atau bisa jadi anggota DPR menemui kendala ketika DIM dijadikan pedoman membahas suatu rancangan undang-undang, karena menutup peluang memperdebatkan kerangka pikir dan pinsip-prinsip yang dikandung rancangan undang-undang itu sendiri. Namun, anggota DPR tersebut tidak think out of the box, entahkah tidak berani atau tidak mau. Ini baru hipotesis saja.
Padahal ketika fungsi manajemen melekat pada proses legislasi sebagai konsekuensi bagian dari public policy, maka para pelaku atau pihak yang terlibat dalam manajemen legislasi, apakah itu anggota DPR atau unit pendukung yang berasal dari Sekretariat Jenderal DPR, dapat leluasa dan sesuka hati memilih berbagai kriteria dan prosedur kerja yang menurut mereka lebih strategis dan efektif. Memilih di sini dimaknai dengan mengurangi, menambah, menggabungkan, atau bahkan mengganti sama sekali. Di sinilah kemudian proses berefleksi terhadap episode ritual legislasi berlangsung, apakah think in the box, tetap bertahan pada skema DIM (seperti yang diatur dalam Pasal 136 ayat (1) huruf b Peraturan Tata Tertib DPR) atau think out of the box, menerobos dan berinovasi, seperti yang ditempuh Pansus RUU Susduk.
Mereka melakukan inovasi dalam membahas muatan RUU Susduk. Mekanisme pembahasan rancangan undang-undang tidak lagi hanya terpaku pada DIM. Mengkombinasikan pembahasan melalui kluster/pengelompokan ketentuan berdasarkan jenis kelembagaan (MPR, DPR, DPD, DPRD, dan Kesekretariatan) menjadi metode alternatif yang digunakan dalam membahas RUU ini. Adapun hal-hal teknis menyangkut kalimat perundang-undangan diserahkan kepada tim teknis.
Pada saat membahas materi RUU Susduk, DPR dan Pemerintah mengidentifikasi lebih dulu isu-isu krusial apa saja yang terdapat dalam klusteryang diperkirakan memiliki tingkat kepentingan dan sensitivitas politik yang tinggi serta cukup mendapat perhatian publik. Metode pembahasan tersebut menjadi terobosan bagi DPR karena mendobrak cara konvensional yang selama ini dilakukan dengan menyisir DIM pasal per pasal. Ini menjadi gejala awal bahwa sebenarnya sudah ada kesadaran think out of the box. Namun kesadaran tersebut masih terbatas pada cara membahas rancangan undang-undang dan muncul dari segelintir anggota DPR. Padahal kegelisahan yang kemudian tercermin dari paparan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, mewakili episode lain seperti Prolegnas, RDPU, hingga monev legislasi .
Harapan
Ke depan, harus ada kemauan dari fraksi-fraksi untuk memobilisasi kesadaran think out of the box menjadi kesadaran institusi, tepatnya alat kelengkapan yang bertugas membahas rancangan undang-undang. Tinggal nanti DPR berhadapan dengan Pemerintah, apakah turut bergabung dalam semangat think out of the box atau menganut cara lama.
Think out of the box tidak hanya menyangkut model pembahasan rancangan undang-undang, tapi juga proses perencanaan legislasi hingga persetujuan. Bahkan, termasuk pula dalam hal penegakan fungsi representasi, penganggaran, pengawasan, kode etik, dan akuntabilitas lembaga parlemen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H