Mohon tunggu...
ronaldi noor
ronaldi noor Mohon Tunggu... -

Menulis dengan hati adalah wisata hati. Membaca dengan jiwa adalah perjalanan tanpa batas.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sawahlunto: Menelusuri Jejak Kolonial dan Orang Rantai

12 Desember 2013   19:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:00 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kita harus voting”

“Ya sudah, voting saja. Saya ngikut aja, tapi kalau dipaksa saya pilih Painan”

“Kalau gak ke Sawahlunto, gw gak ikut. Gw belum pernah ke sana”

Dan voting pun dijalankan. Inggrit sebagai satu satunya mak-mak menjalankan tugasnya malam itu. Dan akhirnya sawahlunto memenangkan pemungutan suara. Inilah susahnya berteman dengan orang-orang yang isinya adalah jomblo-jomblo keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah. Hehhehe

***

Minggu pagi yang mendung.

Nyaris saja perjalanan ini batal. Tiba-tiba si jazz merajuk. Sudah dirayu-rayu, dielus-elus bahkan sudah dikasih minum Aqua sekian botol tetap juga mogok kerja. Perangai tuannya betul yang ditirunya. Tukang ngambok. hehee. Akhirnya, kami memutuskan putar arah. Mengandangkan si Jazz dan menyerahkan nasibnya ke tangan montir. Moga saja dia cepat sembuh. Dan tiba-tiba ide merental mobil keluar dari kepala anak-anak setengah gila ini. Akhirnya setelah menambah anggota, rombongan darmawisata inipun berangkat. Meninggalkan kota Padang yang masih galau dengan cuaca gelapnya.

Siangpun menyambut kami di kota Sawahlunto. Inilah kota layaknya kuali raksasa, sebuah ceruk besar yang dikelilingi oleh buki-bukit Barisan. Memasuki kota, aroma zaman kolonialisme Belanda sudah tercium. Bangunan-bangunan tua sepanjang jalan terawat rapi. Banyak gedung-gedung berasitektur eropa, china dan india di kawasan kota lama. Semakin ke dalam, semakin nyata bahwa kota ini pernah berjaya dengan tambang emas hitamnya:batubara.

Pada tahun 1867 Ir. Willem Hendrik de Greve-seorang geolog- ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meneliti dan mencari sumber energi yang terpendam di perut bumi Minangkabau. Dalam penelitian De Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta ton batu bara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto. Sejak penelitian tersebut diumumkan ke Batavia pada tahun 1870, pemerintah Hindia-Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan eksploitasi batu bara di Sawahlunto. Kota ini mulai memproduksi batu bara sejak tahun 1892. Seiring dengan itu, kota ini mulai menjadi kawasan pemukiman pekerja tambang, dan terus berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk yang intinya adalah pegawai dan pekerja tambang.

Di beberapa tempat, rombongan berhenti untuk berfoto-foto. Ada beberapa bangunan yang cukup penting di kawasan ini. Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto. Dulu dikenal dengan nama Gluck Auf. Bagunan bergaya Eropa ini berdiri sejak 1910 dan berfungsi sebagai gedung pertemuan alias Gedung Societeit. Gedung ini sempat juga dijuluki Rumah Bola, sebab di sana para pejabat tambang Belanda biasa main bowling dan biliar. Sekarang, di sekitar bagunan disediakan bangku-bangku taman dan pedestrian yang semakin membawa kita bernostalgia dengan meneer dan none Belanda berkumpul dan bercengkerama di gedung ini.

Gedung Kantor Batubara. Bangunan yang masih bercorak eropa ini dulunya adalah kantor administrasi tambang batubara, kemudian menjadi kantor Bukit Asam-perusahaan pengelola batubara yang bepusat di Sumatera Selatan. Bangunan bercat orange ini lebih besar dan fasadnya pun berbeda dari pada Gedung Societet.

Lubang Mbah Soero

Pada tahun 1898, Belanda menemukan cara baru untuk meningkatkan produksi batubaranya. Ratusan tahanan dan narapidana dari seluruh Nusantara didatangkan ke Sawahlunto untuk dipekerjakan di lubang-lubang tambang. Mereka mayoritas berasal dari suku Jawa, batak, madura, bugis, china, bahkan manado. Para tahanan ini dipekerjakan di lubang di daerah Lembah Soegar. Mereka dirantai dan bekerja menambang batu bara sampai kedalaman 15 meter. Mengeruk batu-batuan di dasar bumi, kemudian mengangkutnya ke permukaan dengan bantuan lori. Kemudian hari, para pekerja paksa ini disebut Orang Rantai.

Rekaman peristiwa orang-orang rantai ini dapat kita lihat di Lubang Mbah Soero dan Galeri di Infobox. Mbah Soero sendiri adalah mandor yang didatangkan dari Jawa. Dulu beliau dihormati oleh para tahanan dan pekerja karena memiliki ilmu kebatinan dan kanuragan. Sebelum memasuki terowongan, kami diminta mengenakan sepatu booth dan helm layaknya para pekerja tambang. Dan lagi-lagi aksi bocah-bocah haus foto tak bisa dihentikan. Sesi foto-foto narsis pun tak bisa dielakkan.

Menelusuri lubang yang sepintas mirip lubang jepang ini, kita seakan akan melihat orang-orang rantai bekerja mengikis perut bumi untuk memanjakan penjajah. Dengan kaki dirantai, mata para meneer yang mengawasi setiap pergerakan mereka, dan tak kenal jam kerja. Lubang ini mempunyai ketinggian lebih kurang 2 meter dan panjang total mencapai 900 meter. Namun, tidak semua jalur dibuka untuk alasan keamanan. Menyusuri kedalam, di kiri-kanan-atas kita adalah batubara. Hitam. Masih asli. Selama menyusuri terowongan kita tak perlu terlalu cemas. Lubang ini dilengkapi dengan CCTV dan sebuah selang besar yang mengalirkan oksigen, ditambah alat perlindungan diri yang sudah dikenakan dari awal.

Puas menapak tilasi pengorbanan orang rantai, kamipun melihat-lihat koleksi di galeri. Beragam foto-foto orang rantai dapat dilihat, begitu juga rantai yang dulu lekat di kaki mereka. Di beberapa sudut juga terpampang foto-foto Sawahlunto hitam putih zaman kolonial, tampak jelas kemajuan daerah ini sewaktu masih menjadi pusat batubara di Indonesia.

Dan sorepun semakin menanjak, tujuan berikutnya adalah Mak Itam yang sedang bersemayam di Museum Kereta Api. Setelah bertanya sana sini dan menerobos plang vorbodden, akhirnya kami sampai juga di stasiun kereta api Sawahlunto. Pada tahun 1889, pemerintah Hindia-Belanda mulai membangun jalur kereta api menuju Emmahaven (Teluk Bayur) di Kota Padang untuk memudahkan pengangkutan batu bara keluar dari Kota Sawahlunto. Jalur kereta api tersebut mencapai Kota Sawahlunto pada tahun 1894, sehingga sejak angkutan kereta api mulai dioperasikan produksi batu bara di kota ini terus mengalami peningkatan hingga mencapai ratusan ribu ton per tahun. Belanda benar benar melihat bahwa potensi batubara di kota ini sangat besar, sehingga mereka rela membangun jalur kereta api puluhan kilometer.

Sesampai di stasiun yang sudah menjadi museum ini, suasana sudah sepi karena museum sudah tutup. Kemudian kami seperti biasa mengabadikan kenarsisan di stasiun yang juga lokasi syuting film Di Bawah Lindungan Ka'bah ini. Menyusuri rel dan stasiun kecil ini, ingatan saya berkelana ke puluhan lalu. Tampak kesibukan Mak Itam-kereta api uap-pada masa itu melayani penumpang dan mengangkut batu bara ke pelabuhan Emmahaven. Para meneer dan nonee bercengkerama sesama mereka dengan bahasanya, saudagar China berbincang bincang dengan pedagang India, sedangkan pribumi menjadi buruh angkut dan pesuruh di tanah sendiri. Paling tinggi jabatan mereka adalah petugas loket yang melayani penumpang.

Maghrib pun menjelang, tulisan SAWAHLUNTO yang terpampang di salah satu puncak bukit yang sekilas mirip tulisan HOLLYWOOD di California sana memendarkan cahaya kuning keemasannya. Rombongan segera menuju Puncak Cemara, menyaksikan kota tambang  ini dari ketinggian. Dari puncak cemara ini, semakin terlihat jelas betapa teraturnya tata kota ini. Insinyur-insinyur Belanda dahulu tampaknya memperhatikan betul keteraturan kota ini. Blok-blok rumah yang simetris jelas terlihat. Jalan-jalan yang lurus dan memperhatikan kontur tanah yang berbukit.

Di Sawahlunto kami belajar, betapa tidak murahnya harga pengorbanan orang-orang rantai membayar nyawanya dengan sebongkah emas hitam. Di kota ini, kita menyaksikan sejarah kelam bangsa penjajah mengeruk hasil bumi nusantara dan menjadikan pribumi sebagai masyarakat kelas bawah. Melalui bangunan-bangunan tua itu kita mengerti bahwa tidak ada kemerdekaan tanpa pengorbanan. Dan di kota kecil ini, kita menyadari bahwa sejarah telah mengajarkan kita tidak ada yang abadi: seperti batubara yang semakin lenyap.

Dan hujanpun mengantarkan kami meninggalkan kota ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun