Aku senang sekali, “Baiklah aku akan menjemputmu sabtu jam 6 sore, kita akan pergi ke pesta rakyat di Taman Bungkul Surabaya.”
“Baiklah, jahitanmu sudah terlepas, kau boleh pulang, sampai ketemu sabtu ini.” dokter Winda tersenyum kepadaku.
“Baiklah, aku akan menjemputmu di alamat yang tertera di resep obat kemarin.” Aku beranjak dari tempatku dan membalas senyumannya.
Benar saja, sabtu ini aku berkencan dengannya, aku mengenalnya lebih dalam. Di pesta rakyat itu aku mengajaknya menaiki sepeda hias dan juga makan beberapa makanan. Dia tersenyum dan menggenggam tanganku. Dia berterima kasih kepadaku, aku pun menggenggam tangannya seolah tak mau lepas dari dia.
Perlu waktu berbulan-bulan bagiku untuk mengenal Winda yang cantik, dan benar dugaanku, dia memiliki umur yang sama denganku,, gayungku mulai bersambut. Setelah kencan pertamaku dengan dia waktu itu, aku terus mengajaknya pergi, entah nonton, makan atau hanya sekedar ngobrol saja. Dia semakin dekat denganku walaupun dia belum menjadi pacarku, tapi di kalenderku aku sudah menyiapkan tanggal untuk menembak cintanya.
Pada 27 september, genap 7 bulan aku mengenalnya, aku mengajaknya ke Jatim Park. Dia juga sudah mengosongkan jadwalnya jauh-jauh hari. Setelah sampai aku mengajaknya menaiki roller coaster dan berbagai wahana lainnya hingga yang terakhir kami menaiki bianglala.
Ketika bianglala kami sudah berada di atas, tiba-tiba berhenti, dia terlihat panik, tapi aku memeluk pundaknya agar dia tenang. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 17.45, matahari sudah mulai tenggelam, sinar keemasannya semburat di langit. Aku menggenggam tangannya.
“Ini semua sudah aku rencanakan Winda.” Aku menatapnya. Dia tertegun. “Maukah kau jadi pacarku?” aku menggenggam tangannya lebih erat. Matahari mulai meninggalkan jejak sinarnya sehingga kami berdua tampak sebagai siluet di atas sini.
“Ren, aku… aku…” dia terbata-bata. “aku tidak mau menyakitimu. Kau terlalu baik bagiku.” Dia melepaskan genggaman tangannya.
“Aku akan rela sakit, karena cinta adalah sebuah komitmen, aku sudah relakan segalanya.” Aku tersenyum kepadanya. Matahari mulai meninggalkan sedikit sinarnya kepada kami.
“Apakah kau mau menungguku untuk melaksanakan tugas pemerintah di Kalimantan selama setahun? Jika kau menjawab…” kalimatnya terpotong