Aku dikubur dalam tanah, dikerjakan tangan-tangan kasar, diasapi uap panas dan terombang-ambing, lalu disekap kembali di padatnya karung-karung kotor.
Hidupku berawal dari kesusahan dan penderitaan, mereka menjajah hidupku, bak para pahlawan yang berkorban, aku dipuji karena bertahan.
Seperti bangsa-bangsa terjajah yang merdeka, aku harus mempertahankan pencapaian, perjalanan sudah terlampau jauh, tak mungkin aku berhenti di sini.
Mereka masih harus mencacah aku, mengurai tubuhku menjadi sebanyak pasir Sahara, pedang mereka menebas, aku hampir menguap seperti awan.
Jika hanya aku, aku hanya tipisnya debu yang melayang di udara, seperti bangsa yang hancur berkeping karena terpecah, tetapi aku segera bersatu kembali dengan yang lain.
Mereka menenggelamkan tubuhku ke dalam lautan panas, tapi itu malah mengobarkan semangat jiwaku, begitu kuat pancaran kekuatannnya, hingga mereka terpana mencium aromaku.
Aku semakin sempurna!
Aku tak bertuhan, tetapi semua agama menyertai aku, mereka tak mengatakan aku dosa, mereka memuja Pencipta mereka atas diriku.
Tak ada sejarah perang karena aku, mereka yang berselisih menghargai pendapatku, ambisi menguasai luluh menjadi diplomasi persatuan, setiap kali berbicara denganku.
Aku memang hitam, akupun bisa menjadi putih, aku adalah campuran rasa, dan semua bulu menikmati aku.
Mereka berbeda paham dalam banyak hal, tetapi kesemuanya sepakat mengenai kehadiranku, mereka tidak lagi menggunakan panah, melainkan duduk bersama denganku bermusyawarah bagaikan raja-raja.
Ketika aku tersajikan, auraku merebak, mereka satu rasa satu nikmat, aku kelak menjadi tali persaudaraan bangsa-bangsa.
Mereka memanggilku Kopi. Aku menyebutnya Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H