"Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga"
Nila setitik itu bernama Politik yang merusak segala tatanan demokrasi. Mengapa kita harus mencampuri dan merusak banyak hal hanya demi raihan suara dalam Pemilu? Hanya gara-gara Pemilu, semuanya menjadi serba salah.
Salah jika tidak memilih si anu, salah pose jari lalu kena sanksi, bercanda salah, pose dengan cucu salah, jadi duda salah, ini salah, itu salah, salah tidak memilih siapa-siapa. Seolah semua hal di masa Pemilu menjadi penting dan terwajibkan dengan berbagai perspektif.
Mempersoalkan tulisan Prof.Franz Magnis mengenai Golput. Beliau mengatakan Golput adalah bodoh! Parahnya lagi, MUI mengatakan menjadi Golput bisa menimbulkan dosa!
Ada apa dengan bangsa kita?
Pemilu adalah proses demokrasi dalam sistem pemerintahan, dijalankan melalui kegiatan Politik. Karenanya, Pemilu adalah pembicaraan mengenai kebangsaan dan politik. Kita yang terlibat di dalamnya menilai dari sudut pandang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Golput atau tidak memilih calon pemimpinnya dalam Pemilu adalah HAK warga negara, BUKAN kewajiban. Hukum yang berlaku untuk Pemilu bersifat duniawi seperti hukum Negara.
Alasan menjadi Golput tentu beragam berdasarkan pemikiran pribadi masing-masing yang tidak boleh diatur dalam UU. Karena jika ditetapkan bahwa warga negara WAJIB memilih satu calon, itu namanya pemaksaan kehendak; tidak demokratis.
Apakah menjadi Golput adalah tindakan seorang bodoh? Sama sekali tidak! Suara Anda ingin dihargai, maka hargailah suara orang lain. Itu adalah inti dari demokrasi yang bertanggung jawab.
Lalu apa urusannya Pemilu dengan neraka? Bahkan berdoa pun bisa menjadi dosa jika menyalahi aturan agama. Apakah MUI menganggap bahwa menyandingkan Pemilu dengan Dosa cukup relevan untuk dilakukan?
Kiranya MUI segera sadar bahwa tidak semua Indonesia itu muslim. Jika memang ada tertulis dalam Alquran tidak boleh Golput, itu kita hargai. Silahkan saudara-saudara muslim mengikuti ketentuan MUI tersebut.
Tetapi Pemilu RI berlaku untuk semua orang Indonesia termasuk non-muslim. Pernyataan MUI tidak adil dan tidak demokratis dalam konteks Pemilu.
Bagi umat Kristiani, jelas bahwa pemerintahan di atas bumi berbeda dengan Kerajaan Sorga. Sebab ada tertulis:
".. Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Matius 22:21
Yang bodoh adalah ketika manusia merasa paling cerdas dan mendiskreditkan orang lain. Dosa adalah ketika seorang merasa paling suci lalu menghakimi orang lain, sementara dirinya sendiri belum tentu masuk Sorga. Saya rasa tidak ada hukum negara dan agama yang berseberangan dengan dua hal tersebut.
Marilah kita hindarkan sifat latah dan reaksi yang berlebihan hanya gara-gara suasana Pemilu.
Prof. Magnis sudah menyatakan penyesalan atas diksi yang ia gunakan untuk Golput. Bagaimana dengan MUI? Tetap ingin memaksakan 'dosa' Golput kepada seluruh masyarakat Indonesia, para pemilih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H