Mohon tunggu...
Ronald Dust
Ronald Dust Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Musik dan Jurnalis

Seniman Musik dan Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Mengenal Istilah "Microtonal" untuk Interpretasi Musik Tradisi

15 Maret 2019   05:00 Diperbarui: 15 Maret 2019   14:41 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara visual, yang membedakan musik Barat dengan musik-musik tradisional kita adalah tampilan instrumen musiknya. Dari Sabang sampai Merauke, kita memiliki alat-alat musik yang unik yang lain daripada yang lain.

Keeksotikan alat musik tradisional Indonesia diramaikan dengan berbagai penari berbusana warna-warni, rupa-rupa bentuk, berikut dengan gerakan-gerakan tarian yang penuh dengan tatanan filosofis. Belum lagi jika musik itu mengiringi aktivitas-aktivitas adat yang rumit nan menarik.

Sudah semenjak zaman kuno, nenek moyang kita menggunakan musik untuk berbagai aktivitas kehidupan. Kita menari dan bernyanyi hanya untuk menerima tamu, bernyanyi dan menari pada hari raya panen, pada hari bahagia pernikahan, bahkan menari untuk menghormati yang meninggal, menidurkan anak-anak kita, bahkan bernyanyi dalam penderitaan jaman penjajahan.

Tetapi apa yang kita dengarkan yang membedakan musik tradisi kita dengan musik bangsa lain? Itu adalah ciri khas irama dan nada yang digunakan musik tradisional kita.

Nada

Di dalam musik, kita menggunakan kelompok individu-individu nada yang dirangkai menjadi melodi. Urut-urutan nada ini disebut dengan Tangga Nada atau Music Scale dalam bahasa Inggris.

Nada-nada yang dipilih menjadi suatu patokan diukur dan ditentukan berdasarkan frekuensi suaranya. Pada sistem teori musik Barat ditentukanlah nada-nada "Do Re Mi Fa Sol La Ti Do" dengan ketentuan frekuensi yang tetap untuk masing-masing nada.

Contohnya untuk nada C4 (middle C) frekuensinya harus 261,6 Hz dan A4 (middle A) harus 440 Hz. Jarak antara satu nada dengan nada lain disebut dengan Semitone. Semua alat musik barat dikondisikan untuk menghasilkan nada-nada yang sudah ditentukan.

Tabel Frekuensi nada (not). Dokpri
Tabel Frekuensi nada (not). Dokpri
Bagaimana dengan musik tradisional kita?

Microtonal

Musik tradisional kita dari berbagai daerah tidak memiliki patokan sehingga banyak terjadi satu alat musik satu desa berbeda dengan yang dimiliki desa lainnya, walaupun dari budaya/suku yang sama.

"Sangat disayangkan juga bahwa kita tidak bisa menjelaskan secara akurat mengenai sejarah perkembangan teori musik tradisional Indonesia karena minimnya informasi dan bukti-bukti sejarah." 

Di zaman modern, nada-nada yang digunakan berbagai musik tradisional Indonesia dicoba untuk dikomparasi dengan nada-nada yang dimiliki teori musik barat. Hasilnya, jelas tidak sama. Kegiatan komparasi (perbandingan) ini dilakukan juga antara musik barat dengan musik-musik tradisional bangsa lain seperti Asia, Afrika dan Timur Tengah. Hasilnya, juga tidak sama.

Para ahli kemudian menemukan letak perbedaannya, yakni nada-nada musik tradisional bangsa-bangsa menggunakan frekuensi yang berbeda, walaupun ada nada-nada yang mendekati frekuensi yang sama dengan nada musik barat.

Selain itu, interval (jarak antara nada satu dengan yang lain) yang digunakan musik-musik tradisional lebih kecil dibandingkan dengan nada-nada musik Barat.

Contohnya seperti nada-nada scale Pelog dari Gamelan berbeda dengan musik Barat, kita hanya bisa mendapatkan perkiraannya saja:

Pelog jika dituliskan dengan notasi balok Barat. Nada ke-2, 3, 4 dan ke-7 dibunyikan hanya berdasarkan perkiraan saja. Sumber: Wikipedia
Pelog jika dituliskan dengan notasi balok Barat. Nada ke-2, 3, 4 dan ke-7 dibunyikan hanya berdasarkan perkiraan saja. Sumber: Wikipedia
Dengan fakta ini akhirnya diputuskanlah bahwa musik-musik tradisional Indonesia termasuk kelompok musik Microtonal, musik yang menggunakan interval nada lebih kecil (micro) dari interval nada musik Barat. Dengan kata lain: musik yang menggunakan sistem nada yang berbeda dengan musik Barat.

"Intermezzo: Sebenarnya istilah Microtonal diambil dari sejarah perkembangan teori musik Barat juga, namun sekarang, istilah ini lebih condong untuk menjelaskan musik-musik tradisi."

Contoh musik tradisional yang merupakan musik Microtonal

Banyak. Contohnya musik Gamelan Bali, Gamelan Jawa dan musik Karawitan Sunda. Itu semua berbeda dengan teori musik Barat. Ukuran interval yang digunakan adalah Cent; berbeda dengan teori musik Barat yang menggunakan istilah Semitone.

Lain halnya dengan musik-musik tradisi Batak. Sebelum bangsa Barat (Portugis) masuk, musik Batak juga diduga kuat memiliki sistem nada Microtonal. Namun di masa kolonial Belanda, masyarakat Batak mulai beradaptasi dengan musik Barat tanpa menghilangkan jalur ciri khas budaya Batak.

Sehingga musik-musik tradisi Batak sudah menggunakan tangga nada Pentatonic yang diadopsi dari Barat sejak lama. Tapi tetap, masyarakat Batak memainkan musik dengan caranya sendiri, cara budaya orang Batak, sampai saat ini.

Berbeda juga dengan musik keroncong. Sejak awal diciptakannya oleh kaum *Mestizo, musik ini memang sudah menciptakan nada-nadanya sendiri dengan alat musik ciptaan sendiri pula yang mereka namakan Macina; walaupun akhirnya sekarang sudah menggunakan sistem teori musik Barat juga.

Macina. Sumber: Keroncong De Tugu
Macina. Sumber: Keroncong De Tugu
*Mestizo = Orang-orang Portugis yang diasingkan Belanda ke daerah hutan Batavia dulu. Setelah kemerdekaan Indonesia mereka menjadi warga negara Indonesia. Sampai sekarang keturunannya masih ada dan terus berkembang di Jakarta Utara. Salah satunya adalah Bpk. Guido Quiko, keturunan dari para pencipta asli musik keroncong.

Mengaplikasikan Musik Microtonal

Di zaman modern, para musisi Indonesia mencoba untuk melestarikan musik-musik tradisional dengan setidaknya dua cara: 1) Mengadaptasikan sistem nada tradisi dengan teori musik Barat, atau 2) dengan menggabungkan musik tradisi dengan musik Barat.

Contoh praktik mengadaptasi nada-nada tradisional dengan teori musik Barat dapat kita temukan pada musik-musik pop daerah. Musik tradisional sekarang dapat menggunakan alat-alat musik Barat karena nada-nada tradisional sudah disesuaikan dengan teori musik Barat.

Musik pop daerah berkembang sangat pesat di Sumatera, di pulau Jawa, Kalimantan, Manado, Ambon sampai Papua.

Atau contoh yang lebih kekinian adalah album terbaru dari Dewa Budjana yang berjudul Mahandini. Kelihatannya beliau ingin menggabungkan nuansa musik Jawa dengan musik Progressive Rock, sebagian dapat menyebutnya juga sebagai musik Jazz. Begitulah.

Sayangnya ketika para seniman mencoba menggabungkan dua sisi dari satu koin, mencoba menggabungkan musik tradisional dengan musik Barat, kebanyakan tidak berhasil.

Ya terang saja, nada-nada yang sama sekali berbeda dicampur-adukkan, hasilnya seperti melihat Avril Lavigne dengan mata kiri dan mata kanan melihat Agnezmo sekaligus. Agak sulit memilih fokusnya.

Contohnya memainkan gamelan sebagai pengiring alat-alat musik orkestra atau gitar untuk menghasilkan musik Jazz. Saya tidak akan menyebut contoh-contoh kolaborasinya karena ini bukan kritik musik, tapi Anda bisa mencari sendiri referensinya di Youtube.

Contoh lainnya adalah musik latar yang diciptakan untuk event pembukaan Asian Game beberapa waktu lalu. Masyarakat boleh saja menikmati, tetapi dalam rangka pengembangan musik tradisi melalui acuan musik Barat, musik dalam acara pembukaan Asian Games dapat dikatakan gagal.

Mengembangkan musik tradisional yang merupakan musik Microtonal

Tidak mudah mencari strategi mengembangkan musik tradisional. Para musisi dan komposer Indonesia tidak bisa asal-asalan mencampur budaya-budaya. Kita tahu harus memahami dan menguasai berbagai teorinya terlebih dulu agar kita bisa mendapatkan hasil yang maksimal.

Cara yang lebih baik adalah mengadaptasikan nada-nada tradisional yang Microtonal ke dalam teori musik Barat. Atau menggunakan sistem kolaborasi Rhythm and Melody dan sebaliknya dimana irama tradisional mengiringi melodi teori musik Barat atau sebaliknya.

Atau... kembangkanlah dengan musik yang benar-benar asli dari akar budaya nenek moyang kita.

**

Demikian sedikit penjelasan mengenai musik Microtonal. Semoga kita dapat memahami musik tradisional kita dengan pendekatan yang lebih baik melalui tulisan ini.

Ronald Hutasuhut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun