Mohon tunggu...
Ronald Dust
Ronald Dust Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Musik dan Jurnalis

Seniman Musik dan Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyuntik Mati atau Memiskinkan Koruptor?

8 April 2017   05:52 Diperbarui: 8 April 2017   14:30 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mencuri uang negara adalah kejahatan yang luar biasa. Uang negara adalah uang rakyat, mencurinya sama dengan merampok satu bangsa. Korbannya sebanyak satu bangsa. Kasus korupsi yang terungkap memperlihatkan betapa banyak uang negara yang hanya memperkaya beberapa pihak sementara ratusan juta masyarakat lainnya merugi.

Begitu besar dosa koruptor kepada bangsa Indonesia, sehingga menimbulkan amarah dan tuntutan hukum seberat mungkin. Seberapa berat hukuman yang pantas bagi para koruptor?

Kita umat beragama percaya bahwa Sang Pencipta adalah hakim yang maha adil yang akan menjatuhkan hukuman dosa; dan percaya bahwa Tuhan yang memberikan kehidupan, Ia jugalah yang menentukan kematian seseorang. Menentukan sanksi hukum negara hanya dapat dilakukan sebatas kapasitas kita sebagai manusia. Hukum negara ditegakkan dengan memandang baik-buruk dan untung-ruginya bagi bangsa.

Memberikan koruptor sanksi berupa hukuman mati mungkin memuaskan emosi, tetapi tidak terlalu menguntungkan bangsa.

Tindak pidana korupsi bukan aksi individu dan dilakukan secara sistematis. Penegak hukum membutuhkan koruptor yang tertangkap untuk membongkar persekongkolan koruptor sampai ke akar-akarnya.

Nyanyian koruptor terpidana bosa menjadi begitu merdu terdengar. Sebut saja M. Nazarudin yang cukup aktif menceritakan kegiatan-kegiatan korupsi oleh mantan teman-temannya, nyanyian itu terbukti merdu ketika KPK berhasil membongkar kasus-kasus korupsi lainnya.

Hukuman mati bagi koruptor juga sulit diberlakukan karena isu kriminalisasi penegak hukum dan politisasi perkara hukum. Misalnya kasus yang menyebabkan mantan ketua KPK, Antasari, dipenjara ketika ia mengerjakan kasus korupsi yang cukup besar. Apakah ada penegak hukum yang cukup berani memberlakukan hukuman mati sementara ia pun dapat dikriminalisasi dengan ancaman hukuman yang sama?

Peritimbangan lainnya adalah negara membutuhkan uang yang dicuri untuk melanjutkan pembangunan. Jika koruptor terpidana hanya dihukum mati, negara akan sulit melacak keberadaan uang yang dicuri. Oleh karena itu, sanksi memiskinkan koruptor lebih bijak bagi negara.

Pertanyaannya adalah sejauh apa hukum dapat memiskinkan koruptor? Tujuannya adalah mengambil kembali uang hak milik negara, akan tetapi hukum juga harus mempertimbangkan faktor efek jera sebagai peringatan kepada si koruptor dan orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama.

Maka memiskinkan koruptor seharusnya tidak hanya mengambil kembali hak negara sejumlah yang dikorupsi. Sebagai efek jera, hukum harus juga menuntut sebagian besar kekayaan koruptor.

Masalah selanjutnya, si koruptor menjadi miskin dan akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat. Lalu dari sisi kemanusiaan, bagaimana nasib keluarga koruptor yang tidak terlibat? Dilema tersebut dapat dikembalikan kepada setiap orang, apakah Anda akan mempertaruhkan nasib keluarga Anda untuk korupsi?

Kemudian, sebagai bentuk tanggung-jawab negara yang kepadanya uang rakyat dipercayakan, kemanakah uang hasil penyitaan dari koruptor terpidana dan sejauh apa pemanfaatannya? KPK terlihat sudah cukup banyak membongkar kasus korupsi. Adakah uang yang disita secara nyata dan digunakan untuk apa sajakah uang hasil curian tersebut?

Menentukan hukuman yang tepat bagi koruptor juga harus didasari pertimbangan bahwa kemungkinan tidak semua yang terlibat memiliki niat jahat; mungkin ada yang diancam untuk ikut serta dalam aksi korupsi. Seperti pada kasus narkoba, ada yang menjadi pengedar dengan motivasi uang, ada juga yang terpaksa menjadi kurir karena diancam. Ada yang ingin bertobat tetapi dihalangi bandar lain karena takut organisasinya terbongkar.

Pilihan sanksi hukum bagi koruptor lebih baik berupa tindakan memiskinkan koruptor. Apakah DPR yang dikatakan lembaga terkorup berani merancang UU untuk memiskinkan koruptor?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun