Mohon tunggu...
Ronald Dust
Ronald Dust Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Musik dan Jurnalis

Seniman Musik dan Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wahai Kaum Intoleran

28 Maret 2017   18:26 Diperbarui: 5 Februari 2019   03:45 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemahaman agama kaum intoleran tidak sesuai dengan prinsip peradaban manusia dan cenderung menghancurkan.

Teriakan-teriakan memecah belah sedang marak terdengar di Indonesia. Sedikit-sedikit ingin demonstrasi, sedikit-sedikit haram, sedikit-sedikit kafir. Kaum intoleran harus belajar makna dari konsep Ketuhanan yang Maha Esa. Agama yang tidak mengakui perbedaan menunjukkan bahwa dirinya tidak memahami teologi agamanya sendiri.

Agama tercipta untuk menunjukkan hubungan manusia dan Tuhan yang diyakini. Semua Agama percaya bahwa Sang Pencipta adalah satu; Sang Pencipta adalah Maha Kuasa; Sang Penciptalah yang menciptakan segala sesuatunya.

Kaum intoleran merasa agama-nya paling benar dan harus memusnahkan penganut agama lain. Pemikiran dangkal seperti ini harus diperbaiki dengan cara memahami segala sesuatu secara logis, pemikiran yang masuk akal. Kaum intoleran harus belajar memahami kehendak Sang Pencipta.

Jika Tuhan memang menciptakan segala sesuatunya, untuk apa Ia melakukan itu? Mengapa Ia tidak menciptakan mahluk yang hanya menyembah Dia. Mengapa Tuhan tidak menciptakan mahluk-mahluk yang serupa dan mengapa Ia menciptakan manusia yang berbeda-beda? Apakah Sang Pencipta adalah seorang Raja yang senang dengan kekerasan, pembunuhan dan perang? Apakah Sang Pencipta adalah mahluk yang haus darah dan senang dengan kebencian, kedengkian dan kekacauan? Apakah hati Sang Pencipta sehitam itu ataukah Ia tidak punya hati sama sekali?

Jika pun Tuhan ingin menciptakan segala sesuatunya berbeda, semua agama mengatakan bahwa Tuhan-nya adalah Maha Besar, Maha Kuasa, lalu tidak cukup kuatkah Ia membakar ciptaan-Nya yang tidak taat? Mengapa Tuhan membiarkan orang-orang yang tidak taat menyembah-Nya tetap hidup berdampingan dengan semua mahluk di bumi?

Bukankah Tuhan yang meletakkan Matahari di atas sana? Bukankah Tuhan yang memberikan nafas kehidupan semua mahluk dan yang mencabut nyawa setiap orang? Lalu mengapa hari ini Ia tidak memusnahkan manusia yang tidak taat kepada-Nya?

Selemah itukah Tuhan kaum intoleran sehingga harus meminta bantuan kepada ciptaan-Nya mengalahkan ciptaan-Nya yang lain? Ataukah pengadilan di bumi lebih berkuasa daripada hukum Surgawi sehingga kaum intoleran harus melaporkan penistaan agama mereka ke hakim pengadilan di bumi, yang juga adalah mahluk ciptaan Tuhan yang tidak terlepas dari dosa?

Semua penganut agama percaya bahwa agama mereka adalah yang paling benar. Tetapi kaum intoleran merasa perbedaan harus diselesaikan dengan pedang. Mereka bergerombol dan berteriak-teriak di jalanan menyebut nama Tuhan. Yang kaum intoleran tidak sadari adalah bahwa diri mereka sendiri pun belum tentu masuk surga sesuai dengan aturan agamanya sendiri.

Tidak ada satu pun agama yang mampu menunjukkan rupa Tuhan yang nyata. Agama lahir dari satu keyakinan akan cerita Tuhan masing-masing agama. Agama diyakini benar berdasarkan iman masing-masing manusia.

Sang Pencipta tidak menampakkan diri kepada manusia. Sikap-Nya menunjukkan bahwa Ia memberikan kebebasan kepada manusia ciptaan-Nya untuk memilih, apakah manusia akan menyembah Dia atau tidak. Dengan demikian prinsip setiap agama menjadi sama. Setiap agama memiliki ukuran orang-orang sucinya, tetapi setiap agama pun memilki para pendosanya. Satu-satunya bagian dari manusia yang tidak ingin Ia kuasai adalah hati manusia, karena itu jugalah agama-agama meyakini adanya surga dan neraka.

Kaum intoleran tidak berhak memaksakan agamanya kepada orang lain karena mereka tidak sanggup menunjukkan bentuk nyata dari Tuhan mereka. Bahkan Sang Pencipta tidak ingin menggunakan kekuatan-Nya yang maha besar untuk merampas hati manusia.

Kaum intoleran boleh hidup menyendiri tetapi tidak berhak mengganggu penganut agama lain untuk menguasai. Seandainya kaum intoleran mampu menunjukkan rupa Sang Pencipta yang nyata, tentulah agama-agama di dunia tidak akan membentengi diri lagi.

Waktu sudah mencatat sejarah panjang untuk dipelajari. Sejarah mencatat bahwa manusia terlalu sering mengatas-namakan agama untuk tujuan politik yang esensinya jauh dari perihal surga dan neraka.

Kaum intoleran merasa hanya agamanya yang boleh menjalani kehidupan di bumi. Mereka merasa pemimpin harus dari kalangan agamanya sendiri. Sikap kaum intoleran seperti ini hanya menunjukkan sifat egois untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan Tuhannya. Dunia ini tidak dipimpin satu agama. Jika dunia hanya boleh dikuasai satu agama, mengapa Tuhan dari agama tersebut masih membiarkan dunia memiliki pemimpin-pemimpin yang berbeda keyakinan?

Merasa benar boleh. Tetapi jika kaum intoleran memaksakan kebenaran sepihak mereka itu, maka agama menjadi salah. Sang Pencipta yang menciptakan segala perbedaan, Ia juga lah yang membiarkan perbedaan itu terjadi sampai sekarang. Mengapa manusia merasa berhak menentukan apa yang harus terjadi di dunia, sementara mereka sendiri tidak sanggup menghadirkan Sang Pencipta yang nyata?

Jika kaum intoleran tidak suka dengan adanya perbedaan, seharusnya mereka menyerang Sang Pencipta; Dialah yang memelihara perbedaan itu.

Kaum intoleran merasa agamanya tertindas dan lalu mengangkat pedang untuk berperang. Dimanakah Tuhan mereka? Apakah Tuhan yang mereka sembah begitu lemah sehingga harus dibela?

Orang-orang beragama memiliki pendirian iman masing-masing. Jika salah satu keberatan dengan teologi agama lain, yang seharusnya dilakukan adalah berdialog. Jika satu tidak mampu menjawab kebenaran yang lain, maka ia hanya punya dua pilihan: tetap pada pendiriannya dengan damai atau menjadi seorang murtad bagi agamanya. Namun jika yang kalah berteologi mengacungkan pedang, maka ia pun tidak sanggup lagi mewakili nama Tuhannya, karena Sang Pencipta bukanlah mahluk yang suka dengan kebencian. Semua agama besar mengatakan demikian.

Kaum intoleran berusaha menjatuhkan agama lain dengan berbagai-bagai cara. Menuduh agamaisasi sementara melakukan hal yang sama. Tidak ingin dibakar tetapi maju untuk meruntuhkan rumah agama lain; maling teriak maling.

Sang Pencipta bukanlah mahluk keji yang licik, Ia adalah Sang Pencipta dari segala sesuatu. Memaksakan kehendak manusia sama dengan meludahi wajah Tuhan. Kaum intoleran harus menyadari bahwa emosi mereka adalah untuk memuaskan diri sendiri, karena Sang Pencipta tidak menghendaki kekacauan, Ia membenci manusia biadab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun