Artikel ini bukanlah pendapat seorang sineas melainkan pandangan seorang penonton, penikmat film .
Sinetron Indonesia yang bisa Anda lihat di televisi bisa dikatakan ‘anak’ dari tayangan telenovela Barat (latin). Banyak dari sinetron-sinetron Indonesia tidak terlihat memiliki perkembangan yang menonjol. Berikut ini kelemahan-kelemahan banyak (tidak semua) tayangan sinetron yang dapat dirasakan pemirsa di rumah:
1. Acting yang kaku.
Dialog antar pemeran masih terasa kaku. Ini dapat terlihat dari:
- Segi timing dimana pemeran seolah menunggu, tertahan, terbata-bata atau berpikir dulu sebelum membalas perkataan lawan main.
- Gaya bahasa yang digunakan tidak jauh berbeda dengan pemeran-pemeran yang ada atau dengan kebanyakan pemeran dalam sinetron lain.
- Gesture tubuh yang terlihat seolah masih diatur atau menunjukkan sikap yang terlalu berlebihan.
- Kata-kata yang terucap seperti sudah dihapalkan (kurang penjiwaan dan tidak keluar secara natural).
Kekakuan ini terlihat di hampir semua scene.
2. Teknik pengambilan gambar yang monoton.
- Para pemain yang berbaris. Para pemain dalam berbagai scene (yang meliputi lebih dari dua pemain) terlihat terlalu dipaksakan untuk membentuk satu barisan horisontal sehingga tampak suatu komposisi statis. Pemain/pemeran yang ‘diatur’ berjejer seperti ini sering terlihat juga di tayangan-tayangan selain sinetron.
- Close up wajah yang berlebihan/keseringan. Sinetron gemar melakukan pengambilan gambar big close up wajah pemeran.
- Durasi satu scene yang lama karena slow motion atau diulang-ulang. Mungkin maksudnya mendramatisir keadaan, tapi karena terlalu sering jadi membosankan.
3. Tema cerita yang monoton/membosankan.
Tema cerita dari tayangan sinetron tidak jauh-jauh dari Cinta dan permasalahan keluarga/teman.
4. Plot cerita yang terlalu rumit.
Alur cerita rumit sekali tapi tidak ada yang unik karena hanya menceritakan hal yang monoton.
5. Background music yang monoton.
Musik latar yang digunakan juga itu-itu saja. Banyak musik latar sinetron yang menggunakan tipe orkestrasi tapi hanya mengandalkan Orchestra Hit dan arpeggio Violin (terdengarnya seperti sound sample, bukan orkestra asli). Ada juga yang menggunakan lagu tema (theme song/soundtrack) yang terlalu sering dimainkan berulang-ulang.
6. Penggunaan efek film atau animasi yang tidak bagus.
Dalam sinetron-sinetron yang delusive seperti sinetron “Ganteng-ganteng Segala”, efek-efek yang digunakan masih terlihat ‘palsu’ buatan komputer. Hewan-hewan animasinya terlihat seperti permainan PS 2 yang disatukan dengan obyek manusia nyata; konsepnya jadi mirip film “Space Jam” tapi kualitasnya belum sampai ke sana.
Dalam cerita-cerita silat, efek yang digunakan dalam adegan pertarungan juga masih terlihat belum memadai. Contohnya jika pesilat sedang terbang, pergerakkan ia akan terlihat menjadi kaku/kagok. Yang dikhawatirkan adalah komentar asing yang tidak takut terhadap jurus silat Wiro Sableng karena Kung Fu si Yoko the Condor Hero terlihat lebih hebat di TV.
**
Mungkin ini informasi yang tidak penting tapi satu-satunya drama serial TV yang suka hanya “Ok Jek”. Walaupun tidak sempurna tapi begitu mewakili kehidupan nyata masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H