Mohon tunggu...
Ronald Adipati
Ronald Adipati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Suka menulis hal-hal yang remeh temeh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bu, Ayah di Mana? (Untuk Istri Ipda Yudi yang Melahirkan Hari ini)

11 Mei 2018   01:15 Diperbarui: 11 Mei 2018   01:43 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jabar.tribunnews.com

Hari ini, di bawah ketakutan dan ratapan kehilangan, seorang anak lahir. Ayahnya, Ipda Yudi Rospuji Siswanto, tiada tepat dua hari sebelumnya. 

Sang ayah mati dijagal oleh penjahat negara di Mako Brimob. Ia tak bisa menolak takdir yang menjemputnya dengan parang dan senjata. Ia tidak takut karena ia tahu bahwa ada yang datang setelah kepergiannya.

--------------------------------------

Saat air mata belum kering benar, sang istri dipaksa bertarung dengan maut. Pergulatan takdir antara hidup dan mati serta bayangan tentang suami yang mati kemarin barangkali berputar di benak.

"Saya tak boleh gagal apalagi pasrah", itu mungkin kata sang istri dalam hatinya. Meski harapan hidup tinggal sejumput, ia tetap berjuang. Tetesan darah pejuang warisan sang suami mengalir dalam nadinya. Ia istri Prajurit. Ada amanat dalam gelar itu - karena itu harus ada yang diselamatkan di sini. Suami yang mati kemarin dan bayi yang baru lahir, dua hal yang paradoks. Tapi mungkin itu takdir yang harus dipenuhi.


Satu hal yang penjahat itu lupa. Setiap sayatan yang mereka buat di leher sang Prajurit, saat itu pula ada bayi yang merontak ingin keluar dari sangkar rahim. Ia tidak takut - mungkin malah marah karena ia terlambat sehari. Ia hendak menunjukkan diri pada dunia, pada siapa saja yang cemas, pada siapa saja yang bermuram durja, pada Indonesia bahwa ia ada bersama kita yang hanya bisa berempati lewat tanda pagar (#).

--------------------------------------------------

Saya tak bisa meramal nasib seseorang. Itu kuasa Tuhan. Saya hanya bisa menebak bahwa anaknya yang lahir itu mewarisi keberanian sang ayah. Saat desingan peluru belum sunyi benar dari Mako Brimob, ia merontak keluar. Ia tak tak takut. Ia hendak menunjukan diri bahwa ia ada. 

Ia juga bisa menjadi penghibur. Ia tahu air mata ibunya belum kering benar. Ia tak hendak melihat sang bunda terus dirundung malang. "Ini aku, bunda. Jangan menangis lagi", itu mungkin kata hatinya saat keluar dari rahim sang bunda. Ia tahu benar: nasib ibunya tergantung padanya.

Hati siapa yang tak koyak melihat suami terkapar di tangan penjahat sementara persalinan tinggal menunggu hitungan jam?

Hati siapa yang tak koyak manakala anak yang dilahirkan cacat tanpa ayah sejak awal? 

Hati siapa juga yang tak koyak mengetahui bahwa ayahnya mati sehari sebelumnya diganyang penjahat?

Hanya hati penjahat yang tak tahu soal itu. Hanya hati teroris yang tak peka: Pada istri yang ditinggal  mati suaminya, pada bayi yang sejak awal cacat - tanpa ayah yang mendendang lagu nina bobo.

Suatu hari kelak, akan ada pertanyaan dari seorang anak yang kemarin bapaknya meregang nyawa di tangan penjahat: "Ma, Papa di mana?"

Dan setengah  setengah terisak, sang ibu  akan bilang: "Nak, ini aku Ibumu, ayahmu".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun