Mohon tunggu...
Ronaldus Tarsan,S.Pd.
Ronaldus Tarsan,S.Pd. Mohon Tunggu... Wartawan -

The writer Ronaldus Tarsan,S.Pd was born on April, 15th 1991, Ngendeng, East Manggarai. He is the second child of Yohanes Ardi and Rofina Mila. He has four brothers. He entered in elementary school at SDI Wae Ruek in 1998 and finished in 2004, in the same year he continued his study at SMP St. Ludovikus Manggas in East Manggarai and finished 2007. After that, he continued his study at SMA Taman Siswa Makassar In 2007 and finished in 2010. In the same year he registered his name in school of Education of Ujung Pandang Foundation (YPUP) and he chose English Departement, he finished his study in August 2015. Organisation : Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pro Kontra Sistem Pendidikan Indonesia

10 Februari 2015   04:33 Diperbarui: 4 April 2017   16:46 5421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah

Di era kolonial, pendidikan menjadi sarana penting untuk melancarkan hegemoni (menguasai) ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Kolonialis Belanda menggunakan politik etis (edukasi) sebagai jalan merintis ekspansi kapitalnya di Hindia-Belanda. Pendidikan juga menjadi sarana penaklukan politik, yakni penyerapan kaum priayi ke dalam lembaga pendidikan kolonial untuk mensuplai tenagakerja bagi administrasi kolonial. Pendidikan juga menjadi senjata penting untuk menanamkan mental inferior di tempurung otak rakyat jajahan.

Kaum pergerakan menyadari arti penting pendidikan sebagai senjata untuk emansipasi dan memerdekakan manusia. Karena itu, kaum pergerakan kemudian mencoba mendorong pendidikan alternatif sebagai senjata melawan kolonialisme misalnya  Kartini, Dewi Sartika dan Rohana Kudus dengan Sekolah Perempuannya, Tan Malaka dengan Sekolah Rakyatnya, dan Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya.

Pendidikan merupakan sebuah proses emansipasi (pembebasan) intelektual manusia dan sebagai instrumental menciptakan manusia yang berproduktif. Akan tetapi berbanding terbalik dengan kenyataan objektif dunia pendidikan Indonesia, Manusia Indonesia dikatakan memiliki kecerdasan ketika kemudian mampu berinovasi (menciptakan sesuatu produk baru serta bermanfaat bagi orang banyak).

Potret

Indonesia merupakan bangsa yang besar yang memiliki keberagaman suku ras dan agama, oleh karena itu menjadi keharusan bagi semua elemen untuk kemudian menjaga dan juga memelihara keberagaman tersebut. Dan karenanya bangsa kita menjadi salah satu bangsa yang besar di dunia. Sayangnya negeri yang memiliki begitu banyak sumber daya alamnya tidak seimbang dengan kapasitas intelektual manusianya, sehingga kemudian potensi-potensi yang ada kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh penduduk dinegeri tercinta ini.

Alhasil semua kelebihan-kelebihan itu, dimanfaatkan oleh pihak asing yakni tambang mangan, emas, batu bara dan sebagainya. Salah satu penyebabnya adalah minimnya sumber daya manusia Indonesia untuk kemudian mengelolahnya. Nah kenyataan objektif ini menjadi sesuatu yang permanen dalam nadi bumi pertiwi, dikarenakan tak berubahnya wajah bangsa ini dengan begitu banyak deretan persoalan yang terjadi dan sampai pada detik inipun tak mampu diselesaikan.

Dari semua persoalan dan juga kondisi real tersebut diatas, penulis ingin menyimpulkan bahwasannya kualitas pendidikanlah yang kemudian mampu mengatasi berbagai problem yang ada. Diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah yang terus menerus menggati kurikulum dan mengabaikan amanat UUD 1945 pasal 28 ayat 1 bahwasannya: setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran (pendidikan) yang layak.

Pergantian kurikulum bukanlah sebuah solusi dalam pemberantasan buta huruf  (PBH) serta meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, tetapi justru menambah sejumlah persoalan dalam institusi pendidikan itu sendiri, misalnya saja Ujian Nasional dijadikan proyek besar untuk memperkaya diri oleh sebagian oknum yang tak bertanggung jawab, diantaranya kunji jawaban soal UN dikomersialisasikan (diperjualbelikan), beberapa sekolah soal UN dikerjakan oleh guru-gurunya, dan praktek-praktek curang lainnya, yang pada dasarnya merendahkan nilai pendidikan kita saat ini.

Pendidikan kita sekarang terpolarisasi oleh persoalan dasar yakni :pendidikan kita semakin berorientasi pada prinsip kapitalisme (prinsip Pasar bebas) yaitu pendidikan selalu dipersepsikan dari berapa besar keuntungan yang bisa diperoleh dalam penyelenggaraanya. Kenyataan ini diperparah lagi dengan masifnya kebijakan neoliberalisme ke sektor pendidikan, antara lain kebijakan privatisasasi pendidikan yang berbanding terbalik dengan semangat nasionalisme bangsa Indonesia.

Pendidikan yang makin bernuansa kapitalistik ini membawa sejumlah konsekuensi logis : yang pertama; pendidikan diubah menjadi barang dagangan, yakni hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki banyak uang, kedua orientasi kepada kebutuhan pasar bebas, termasuk sebatas tenaga kerja diperusahan kapitalisme bukan kepada kepentingan negara, ketiga kurikulum pendidikan sangat bercorak kepentingan pasar bahkan output pendidikan Indonesia tidak mampu mengelolah kekayaan alamnya sendiri karena regenerasi bangsa dilokaisasi sebatas kepentingan kapitalisme pasar.

Solusi

Pada prinsipnya pendidikan seyogianya diprioritaskan dalam sebuah negara untuk kemudian diperhatikan secara prima. Pendidikan kita semestinya bisa mencetak manusia yang bukan hanya menjadi pelayan pada perusahan atau tenaga kerja untuk mengembangkan perusahan asing, yakni bekerja dibawah instruksi owner freeport bukan menghasilkan manusia yang berkualitas yang kemudian bisa mengelolah sumber daya alam yang kita miliki itu.

Ketika kemudian pemerintah memiliki pemikiran yang sifatnya konstruktif, maka manfaatkan anak negeri untuk disekolahkan diluar negeri, dan dibiayai oleh negara untuk mengembangkan potensinya yang kemudian bisa mengelolah sumber daya alam ini. Dan ketika pererta didik tersebut sudah menyelsaikan pendidikannya diluar negeri, maka wajib kembali ke tanah air untuk mengembangkan perusahan pemerintah dalam hal sumber daya alam. Penulis yakin ketika gagasan ini kemudian diterapkan oleh bangsa ini, akan melahirkan kemajuan yang luar biasa dalam tubuh NKRI yang kita cintai ini.

Dan kalau indonesia sudah memiliki generasi cerdas, maka dengan sendirinya nasionalisasi perusahan-perusahan asing akan semakin mudah karena kita sendiri telah memiliki orang-orang produktif dan keuntungan dari aktivitas perusahan tersebut kita sendiri pun yang menikmatinya dengan mempunyai porsi yang besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun