Mohon tunggu...
Romo Samsi Pomalingo
Romo Samsi Pomalingo Mohon Tunggu... Editor - Pegiat Literasi di Gorontalo

Samsi Pomalingo is a lecturer at the Gorontalo State Univereity and also at the University of Nahdlatul Ulama Gorontalo. He received Master’s degree (M.A) in Religious and Cultural Studies from the Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) at Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2004). He continued the doctoral program in anthropology at the Hasanuddin University Makassar. Now he is as a head of research study center at the University of Nahdlatul Ulama Gorontalo. His research interest is on Religious and cultural Studies, Islamic Studies, Islamic movements and Globalization, the Anthropology and Sociology of Islam and Muslim Cultures. His email: samsi.pomalingo@ung.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penghianatan Kaum Intelektual

3 Desember 2020   21:45 Diperbarui: 3 Desember 2020   21:58 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika membaca judul di atas, sontak para aktivis langsung ingat judul buku yang ditulis oleh seorang pemikir Perancis yang bernama Julien Benda dan seorang aktivis (demonstran) Indonesia di era 60 an Soe Hoek Gie. 

Buku ini saya pernah baca di tahun 2000 sebelum banjir besar menghantam daerah Manado. Walhasil akibat banjir, koleksi buku kurang lebih sekitar 300 buku hanyut dibawa banjir termasuk buku yang ditulis oleh Julien Benda yang berjudul "Penghianatan Kaum Intelektual" covernya warna kebiru-biruan (terjemahan).  

Buku yang judul aslinya La trahison des Clercs pada 1920-an samapi saat ini masih relevan dengan kondisi kita hari ini. Isinya soal kegelisahan Benda melihat fenomena kelompok intelektual yang masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Kenapa tiba-tiba saya menulis artikel ini. sebuah diskusi berdua dengan seorang sahabat dekat bernama Basri Amin melalui WhatsApp (WA), kami membahas soal peran dan tanggungjawab kaum intelektual (cendekiawan) ditengah pandemic covid-19. 

Bagi orang lain yang sedang berpuasa itu adalah waktu yang baik untuk istirihat karena diskusinya pada saat siang hari pukul 13.56 -- 15.06 wita. Diskusi kami berdua sangat produktif karena saling memberi masukan dan pengetahun yang mungkin bagi orang lain tidak terlalu penting. 

Diakhir diskusi, sahabat saya menuliskan seperti ini; "....jangan lupa kita sama-sama baca lagi Penghianatan Intelektual karya J. Benda.."  dan sekalian dikirimkan link untuk membaca kembali karya intelektual Perancis tersebut. Tak mau menyia-nyiakan waktu, saya langsung mengklik link tersebut untuk menyegarkan kembali bacaan atas tulisan Julien Benda.

Tulisan ini dimulai dengan pertanyaaan sederhana. Siapa kaum intelektual? Ada apa dengan kaum intelektual saat ini? Kaum intelektual dalam pandangan Seorang dramawan Malaysia ternama Sharif Shaary pada hakekatnya sang penegak kebenaran. Dia mengakatakan seperti ini:

"Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. 

Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. 

Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat." (Faizal Yusuf, 2004).

Menurut Benda (1997), tugas seorang intelektual (cendekiawan) bukan untuk mengubah dunia, tetapi untuk tetap setia kepada suatu cita-cita yang perlu dipertahankan demi moralitas umat manusia, seperti keadilan (la justice), kebenaran (la verite) dan rasio (la raison). Mereka harus menjadi moral oracle (orang bijaksana penjaga moral) sekaligus menjadi penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan prinsip-prinsip moral bukan sebaliknya.

Dalam Islam, kaum intelektual disebut 'alim ulama' yang memiliki kedudukan sebagai pewaris para nabi (waratsat al-anbiya'). Karena sebagai pewaris Nabi, maka kaum intelektual membawa misi profetik (kenabian). Dalam istilah Ali Syari'ati kaum intelektual disebut Rushan Fekr. 

Namun, yang terjadi saat ini, tidak sedikit kaum intelektual justru menjadikan intelektualitas mereka sebagai alat utama untuk memburu rente. Mereka layaknya seperti para sofis di era Yunani Kuno yang mencari uang dengan menjual pengetahuan. Kehidupan mereka cenderung ke hal-hal yang bersifat material atau duniawi.

Jadi kaum intelektual adalah kaum terpelajar yang mendasarkan diri pada prinsip moralitas, keadilan, dan logika. Intelektual menjadi rujukan masyarakat dan birokrat karena pemikirannya berdasarkan fakta-fakta, ketepatan teori, dan analisa argumentatif. 

Intelektual bekerja atas dasar kebenaran dan terbebas dari kepentingan pragmatis (masuk dalam bagian kekuasaan yang anti kritik, merasa nyaman dengan proyek material yang menguntungkan diri sendiri, mengutamakan status formal, bermental yes bos dan suka mengejar dan meminta jabatan). 

Kaum intelektual bermental pragmatis bisa kita jumpai dimana-mana termasuk di perguruan tinggi (kampus). Hanya karena ingin mengejar jabatan dan kedudukan, intelektulitasnya digadaikan, menghalalkan segala macam cara untuk mewujudkan keinginan hawa nafsunya. Sikut kiri sikut kanan, suap sana sogok sini, karya ilimiah dibeli, semua dilakukan hanya karana untuk sebuah jabatan dan status formal.        

Untuk memainkan peran-peran mulia sangat kuat godaaan dan tantangan bagi kaum intelektual di jaman sekarang. Seorang penulis buku Hypersemiotika Yasraf Amir Piliang (2012) pernah menulis soal kematian yang terjadi di abad 21. 

Ia menulis seperti ini; "Dunia abad 21 adalah dunia penuh paradox, dunia dekonstruksi dan dunia kematian massal, dari kematian tanda, kematian makna, kematian petanda, kematian realitas, kematian representasi, kematian ideologi, kematian seni, kematian "tuhan", kematian teori, kematian manusia, kematian seksual, kematian politik, kematian media, kematian epistemologi, kematian logos, kematian metafisika, dan berbagai kematian lainnya".

Apa yang ditulis oleh Piliang di atas, lebih memfokuskan kepada kematian akan beberapa hal, diantaranya kematian epistemologi, kematian ilmu dan kematian kaum cendekiawan (intelektual). Tidak heran jika Imre Lakatos (1989) menegaskan bahwa fenomena kontemporer keilmuan yang seperti itu, merupakan petanda dari sebuah "kematian" dan kemerosotan (degenaratif) epistemologi, ilmu tidak lebih menjadi sebuah justifikasi atau pembenaran diri.

Kematian-kematian di abad 21 mengindikasikan hilangnya "kebenaran" yang datang dari kaum intelektual. Kebanaran yang ada hanya bersifat semu (pseudo). Kaum intelektual seperti yang digambarkan Benda tidak lagi mendedikasikan hidupnya untuk mencari kebenaraan melainkan terikat kepada fungsi mengejar kepentingan materi dan duniawi seperti yang dilakukan oleh kaum awam.

Di era demokrasi liberal sekarang ini, Indonesia memasuki "ruang kematian" yang sungguh sangat memilukan, yaitu kematian "kaum intelektual". Masyarakat Indonesia sangat berharap kelompok ini mampu membawa gerakan yang nyata sebagai manusia-manusia pilihan (khaira ummah), dengan segenap ilmunya untuk bisa melakukan perubahan sosial secara organik sebagaimana yang dicita-citakan oleh Gramsci, Ali Syariati, Asghar Ali Engineer hingga Mohammad Hatta. Kenapa Hatta? Karena Hatta sangat istiqomah menjaga martabat dan kualitas moralnya sampai ke liang lahat.          

Dalam konteks Gorontalo, kita bisa menemukan nama seperti Sahmin Radjik Nur atau S.R. Nur. Seorang cendekiawan kebudayaan dan cendekiawan ternama dalam bidang Hukum Adat dan Sejarah.  Dia adalah "mutiara", Guru dan sang "petunjuk jalan" untuk peradaban Gorontalo. Dia adalah orang yang sangat bersahaja, penuh disiplin dan sangat berhati-hati dalam berbicara. Kita patut belajar darinya sebagai seorang intelektual yang berdedikasi tuinggi. (Basri Amin, 2020).   

Basri Amin (2020) dalam tulisannya "S.R. Nur 1924-1997; Cendekiawaan Gorontalo yang Mewariskan Pertanyaan" mengatakan bahwa "tidak semua sarjana menjadi cendekiawan, dan tidak semua cendekiawaan bergelar sarjana ataupun pascasarjana. Cendekiawan selamanya melibatkan dirinya melampaui batas-batas teknis keilmuan yang disandangnya. Ia setia membaca dengan intim semua putaran eksistensial manusia dan ikatan-ikatan moral yang menyertainya". Bagaimana dengan kita? Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun