Mohon tunggu...
Akhmad Ali
Akhmad Ali Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Cahaya Pagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Setelah SBY Terbitlah Jokowi

31 Maret 2014   10:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepuluh tahun lalu, ketika ramai-ramai orang memuja Susilo Bambang Yudhoyono dan menjadikannya calon presiden, saya bertanya kepada seorang kawan; “Apakah sampean memiliki — mengutip Kahlil Gibran — keikhlasan hati untuk menerima kekurangan SBY saat menjadi presiden?”

Kawan saya, tidak ubahnya jutaan orang di Indonesia saat itu, menjawab secara diplomatis. “Gue yakin SBY adalah solusi bagi masa depan bangsa,” ujarnya. “SBY punya kharisma. Dia figur militer yang dibutuhkan rakyat.”

Saya berusaha tak mendengar semua ocehannya. Setelah diaberhenti berorasi tentang SBY, saya berkata lagi; “Sampean tidak menjawab pertanyaan saya. Saya ulangi, apakah sampean memiliki keikhlasan hati untuk menerima kekurangan SBY saat menjadi presiden.”

Kawan saya itu tidak menjawab. Dia memalingkan muka, dan terdiam sekian lama, sampai akhirnya dia menyerang saya dengan mengatakan; “Kau itu selalu pesimistis. Gue nggak pernah lihat kau menaruh rasa optimisme kepada calon pemimpin baru.”

Saya panas hati, tapi saya berusaha kendalikan. Saya katakan; “Lebih baik pesimistis saat ini, ketimbang menjadi orang pertama yang memaki pilihannya sendiri.”
Sebelum dia merespon, saya melanjutkan; “Jika demikian, pertanyaannya saya ubah. Bersediakah kau setia pada orang yang kau pilih sampai akhir masa tugasnya?”
Dia tidak menjawab, dan berlalu begitu saja.
Sekian lama saya tak bertemu dia lagi, karena kami berpisah rumah cukup jauh dan tidak satu profesi. Saat saya temui dia di pesbuk, saya mengulurkan tangan untuk menjadi teman. Dia menyambut dengan baik.
Saya membaca hampir semua statusnya, terutama yang berhubungan dengan SBY. Semuanya penuh dengan cercaan dan makian kepada sang presiden.

Saat ramai-ramai orang memuja Jokowi, dia terbawa arus yang sama. Memuja Jokowi setinggi langit. Di salah satu statusnya dia menulis; “Subhanallah, saya seperti hidup di era Umar bin Abdul Aziz, saat melihat Jokowi menyambangi orang miskin.”

Dia, seperti jutaan orang yang tersihir mitos ndeso dan harapan, mendukung Jokowi menjadi presiden. Kira-kira jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya saat saya bertanya apakah sampean memiliki keikhlasan hati untuk menerima kekurangan Jokowi saat menjadi presdien?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun