Hirarki Ketiga adalah bisa dikatakan Kelas Pewaris. Dalam strata ini, mereka yang masuk dalam kumpulan yang masih ada hubungan darah dan hubungan keluarga dari incumbent dan pejabat-pejabat yang mempunyai jabatan strategis di pemerintahan maupun swasta. Disini juga mungkin mereka bukan sekedar ikut-ikutan, mungkin pada dasarnya dalam kehidupan mereka telah mengalir darah politik.
Hirarki Keempat adalah mereka yang masuk kelas bawah (bisa dikatakan sebagai wong cilik). Dalam strata keempat ini bisa dikatakan "nekat", karena begitulah adanya. Saya rasa mereka mempunyai khas tersendiri dalam kancah perpolitikan ini, dengan berpegangan pada komitmen untuk membawa aspirasi masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
Â
KULTUS!!! Kata kultus ini sepertinya telah membumi. Kata Kultus kalau diartikan secara noun adalah penghormatan secara berlebih-lebihan kepada orang, paham, atau benda (kamus Indonesia). Kalau dipersingkat arti dari Kultus ini yaitu mendewakan seseorang. Biasanya Kultus ini terjadi karena  digunakan sebagai salah satu unsur atau simbol keagamaan, tapi kata kultus ini terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Tidak saja digunakan sebagai simbol keagamaan, tapi telah merembet didalam tatanan kehidupan di masyarakat.
Kenapa demikian? Masyarakat mengaku memilih PDI Perjuangan karena tertarik dengan Joko Widodo. Selanjutnya masyarakat yang memilih Partai Gerindra mengaku karena tertarik dengan Prabowo Subianto. Masyarakat memilih Golkar mengaku karena tertarik dengan Airlangga Hartarto. Lalu masyarakat memilih Partai Nasdem mengaku karena tertarik dengan Surya Paloh.
Dari pemikiran tersebut didapat bahwa saat ini adalah mungkin inilah gambaran praktik politik di Indonesia. Masyarakat cenderung meng-kultus-kan tokoh-tokoh idolanya. Lebih dari itu, kerabat atau orang dekat tokoh idola mereka pun turut serta menjadi patron bagi mereka. Sejumlah partai politik menikmati kenaikan elektabilitas. Uniknya kenaikan elektabilitas itu bukan karena kinerja partai yang membaikan, melainkan gara-gara popularitas personal tokoh masing-masing. Sayangnya, kebanyakan Partai Politik justru berusaha memelihara kondisi tersebut. Mereka tak hanya memelihara, tetapi juga membangun dan menumbuhkan kultusisme tersebut.
"Politik bukan Alat Kekuasaan, melainkan Etika untuk Melayani" (Dr. Johannes Leimena). Maksudnya disini adalah menekankan pemahaman bahwa politik untuk melayani sesama, bukan untuk menguasai sesama. Konsep manusia sebagai makhluk politik menunjukkan bahwa pemikiran politik yang menyangkut proses dan hasil dari kegiatan politik suatu sistem politik berdasarkan pada esensi (hakikat) manusia. Hal ini berarti manusialah yang harus menjadi kriteria atau ukuran dan tujuan. Walaupun dalam politik orang bisa saja meremehkan fakta bahwa pada dasarnya manusia itu ambivalen, maka kekuasaan dimanapun dan kapanpun selalu tidak hanya digunakan dengan baik tetapi juga disalahgunakan.
Menghadapi Pemilu 2024 yang tinggal beberapa bulan lagi, rakyat sebagai pemegang sah kedaulatan pun diuji dengan ujian yang sangat berat. Memilih dengan rasional dan cerdas siapakah yang layak mereka berikan kepercayaan untuk mengurus hajat hidup mereka. Tidak terbelenggu oleh Hirarki dan Kultus individu, tak terbuai oleh citra semu yang dibangun melalui atribut kampanye yang sering kali menipu, tak terbeli oleh bujukan materi dan serangan fajar yang menerpa. Memberikan pilihan dengan cermat kepada orang yang tepat agar tak menyesal dan menderita karena tertipu oleh iming-iming manfaat dan nikmat sesaat. Mari sukseskan Pemilu 2024 dengan MAGIC (Motivation, Active, Good, Instinct, Commitment). Tinggilah Iman kita, Tinggilah Ilmu kita dan Tinggi Pengabdian kita. Ut Omnes Unum Sint. Ora et Labora.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H