Mohon tunggu...
Romi Novriadi
Romi Novriadi Mohon Tunggu... -

Romi Novriadi Bekerja sebagai Pengendali Hama dan Penyakit Ikan Ahli Muda di Balai Perikanan Budidaya Laut Batam\r\n\r\nKorespondensi: Romi_bbl@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tantangan Perikanan Budidaya untuk Ketahanan Pangan

14 Januari 2016   11:03 Diperbarui: 14 Januari 2016   12:33 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh:

ROMI NOVRIADI

Staff Balai Perikanan Budidaya Laut Batam, Direkotorat Jenderal Perikanan Budidaya

Kementerian kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Hipotesa tentang produksi pangan secara global ditengah lonjakan populasi penduduk dunia pernah diungkapkan oleh Thomas Robert Malthus di tahun 1798 melalui bukunya An Essay on the Principle of Population. Hipotesa ini mengungkapkan bahwa laju pertambahan penduduk dunia akan terus meningkat secara eksponensial, sementara produksi pangan hanya akan bertambah berdasarkan deret hitung. Eksponensial menurut pemahaman Malthus diartikan sebagai peningkatan berdasarkan kelipatan yakni; 1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya. Sementara produksi pangan hanya akan meningkat berdasarkan deret hitung 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan seterusnya. Skenario ini berakibat kepada timbulnya kekhawatiran bahwa pada satu titik akan terjadi ketidakseimbangan antara supply (ketersediaan) pangan dan demand (kebutuhan).

Pada tahun 2030, jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8,2 milyar. Jika konsumsi ikan perkapita seperti dikutip dari data FAO (2014) menunjukkan angka 19 kg per tahun, maka pada tahun 2030 dibutuhkan suplai ikan sebanyak 156 juta ton. Jika dibandingkan dengan jumlah total produksi tahun 2011 yang mampu menghasilkan 154 juta dan 158 juta ton di tahun 2012, ketersediaan ikan sepertinya akan dapat dipenuhi. Namun, realita yang terjadi adalah berbagai kegiatan eksploitasi penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab dan status overfishing di beberapa wilayah telah mengakibatkan jumlah tangkapan ikan menurun secara signifikan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan banyaknya jumlah hasil produksi perikanan dunia, sebanyak 21,7 juta ton (FAO, 2014) digunakan sebagai bahan baku industri dan bukan untuk konsumsi manusia. Berbagai fakta yang tersaji diatas menjadikan kita setuju pada data yang dirilis oleh Bank Dunia bahwa secara realistis produksi global perikanan dunia di tahun 2030, baik yang berasal dari tangkap maupun perikanan budidaya, harus ditingkatkan hingga hingga 27 juta ton untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan dunia.

Dalam perspektif ekonomi, produk hasil perikanan tentu akan diberikan kepada pihak yang mampu memberikan net income yang lebih tinggi. Data FAO (2014), menyebutkan bahwa China, Norwegia dan Thailand sebagai negara dengan nilai ekspor produk perikanan terbesar dengan tingkat pertumbuhan 8 – 15 %. Sementara Jepang, Amerika Serikat dan bahkan China menjadi Negara dengan nilai impor produk perikanan terbesar dengan tingkat pertumbuhan tahunan yang fantastis ditunjukkan oleh China hingga mencapai 13%. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi produk perikanan global tidak dapat diharapkan menjadi sebuah distribusi yang ideal yang mampu memenuhi kebutuhan setiap individu. Bahkan, distribusi produk perikanan saat ini lebih berbasiskan kepada kemampuan daya beli, tradisi dan kapasitas produksi sebuah negara. Trend konsumsi ikan semakin meningkat karna selain sebagai sumber mikronutrien dan makronutrien, seperti vitamin dan mineral, konsumsi ikan juga dapat berkontribusi penting pada ketersediaan asam lemak omega-3, EPA dan DHA, yang memiliki peranan penting penting dalam optimalisasi berbagai fungsi tubuh, otak dan jaringan syaraf.

Besarnya dampak positif yang diperoleh dari konsumsi ikan serta lebih dari 85% wilayah zona tangkap secara global telah dieksploitasi melewati batas tolerasi, menjadikan sektor perikanan budidaya sebagai sektor primer dalam memenuhi kebutuhan konsumsi ikan yang cenderung terus meningkat. Namun, dalam konteks jangka panjang, pengembangan sektor budidaya justru dihadapkan pada dua isu sentral, yaitu isu lingkungan dan kualitas produk hasil budidaya. Isu lingkungan menjadi perhatian utama oleh para aktivis dan hal ini telah mendorong dilakukannya berbagai kajian seperti Life Cycle Analysis (LCA) dan Ecological Footprint yang bertujuan untuk menilai sampai sejauh mana dampak lingkungan mempengaruhi keberlanjutan produksi budidaya. Kritik lingkungan ini umumnya lebih ditekankan kepada beberapa isu, diantaranya isu konversi lahan aktif ke industri budidaya, eutrofikasi, introduksi ikan yang bukan berasal dari lingkungan alami (alien species), perubahan genetik dan penyebaran penyakit ke ikan non-budidaya. Sementara untuk isu kualitas, perbandingan kandungan gizi ikan hasil produksi budidaya dengan ikan tangkap menjadi perhatian utama.

Penyelesaian terhadap tantangan ataupun isu yang berkaitan erat dengan lingkungan harus dilakukan secara komprehensif dan tidak dapat dilakukan secara parsial ataupun hanya bersifat jangka pendek. Salah satu isu lingkungan, terkait dengan tingginya mortalitas akibat eutrofikasi dapat diminimalisir dengan adanya pemahaman yang baik dan lengkap tentang karakteristik air, stratifikasi air, densiti, perubahan suhu dan kecepatan angin yang ada di lokasi budidaya. Hasil kajian yang efektif dapat menghasilkan sistem pengelolaan produksi yang efektif melalui penentuan masa tebar, teknik pemberian pakan dan masa panen yang disesuaikan dengan karakteristik lingkungan budidaya. Implementasi sistem produksi perikanan budidaya ramah lingkungan melalui skema Integrated Multi Trophic Aquaculture System juga dapat dilakukan untuk mereduksi dampak eutrofikasi. Melalui sistem ini, konsentrasi unsur toksik, seperti nitrogen (ammonia dan nitrit) serta posfor akibat pemberian pakan berlebih atau feces ikan budidaya dapat diminimalisir oleh komoditas rumput laut dan kekerangan yang dapat memanfaatkan kelebihan unsur nutrient ini sebagai unsur pendukung pertumbuhan. Penerapan konsep ini juga dapat menjadikan lingkungan pesisir menjadi lebih produktif serta menjadi nilai tambah ekonomi tersendiri bagi para pelaku usaha budidaya.

Upaya perlindungan membutuhkan dukungan dan sinergi dari berbagai pihak. Berbagai regulasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah tidak akan berjalan efektif bila tidak didukung oleh para pelaku usaha budidaya. Berbagai praktik illegal dengan memasukkan ikan alien ataupun obat-obatan yang belum teregistrasi harus dihilangkan. Penggunaan bahan suplementasi ataupun kimia untuk pengobatan ikan harus dikonsultasikan dan dilakukan dengan dosis yang tepat. Saat ini, akibat dari penggunaan antibiotika secara berlebihan dan tidak bertanggungjawab menyebabkan resistensi pada beberapa bakteri. Timbulnya resistensi menjadikan pengobatan tidak efektif dan bahkan akumulasi residu antibiotika yang ada di dalam tubuh ikan menyebabkan penolakan dari beberapa negara tujuan ekspor.

Penggunaan benih hasil domestikasi dalam negeri juga dapat mengurangi resiko penyebaran penyakit baik di lingkungan budidaya maupun di luar sistem budidaya. Faktor pembatas juga dapat diterapkan pada faktor pendukung produksi, seperti halnya kista Artemia atau berbagai zooplankton dan phytoplankton yang digunakan dan diintroduksikan dalam sistem budidaya. Tidak jarang bahwa zooplankton yang kita impor justru menjadi vektor sebuah penyakit yang dapat menjadi wabah dan membahayakan keberlanjutan sistem produksi. Sangat penting bagi para pelaku usaha budidaya untuk selalu menggunakan benih dari panti benih yang bersertifikat, memiliki sistem biosekuriti yang baik dan berstatus bebas penyakit. Proses karantina yang baik ketika ikan tiba di sistem produksi juga dapat menjadi tindakan yang efektif untuk mengurangi keberadaan penyakit.

Apresiasi yang tinggi patut kita berikan kepada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya yang menggandeng WWF Indonesia untuk mewujudkan optimalisasi dan efektivitas peningkatan produksi serta pengelolaan perikanan budidaya yang berkelanjutan dengan berlandaskan pendekatan ekosistem dan Ekonomi Biru (Blue Economy). Salah satu fokus kerjasama yang menitikberatkan pada sinkronisasi standar Cara Pembudidayaan Ikan yang Baik berdasarkan prinsip Aquaculture Stewardship Council (ASC) dapat menjadi jawaban untuk menjawab tantangan isu kualitas produksi hasil perikanan budidaya. Standarisasi ini akan menjadikan produk perikanan budidaya nasional memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan, memenuhi aspek ketertelusuran (traceability) dan pada akhirnya diterima oleh berbagai negara tujuan ekspor.

Berdasarkan ranking Environmental Performance Index (EPI), Indonesia berada di posisi 112 dari 178 negara untuk tingkat penerapan dan jumlah regulasi yang berkaitan langsung kepada sistem perlindungan kesehatan manusia dari dampak aktivitas lingkungan dan perlindungan kepada ekosistem. Hal ini berarti bahwa performa kita, khususnya dalam aspek lingkungan di bidang perikanan budidaya, masih terlalu lemah dan harus terus ditingkatkan. Kita berharap bahwa dengan semakin gencarnya kerjasama di bidang perbaikan kualitas lingkungan dan meningkatnya tingkat kesadaran para pelaku usaha budidaya terhadap aspek lingkungan akan menjamin keberlanjutan produksi perikanan budidaya untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun