"Maaf kak, sepertinya itu bukan belanjaan saya, deh," ucap Ami sambil menunjuk sebongkah Silverqueen matcha ukuran sedang kepada seorang kasir minimarket berseragam biru yang bersiap memasukkan cokelat hijau tersebut ke tote bag berlogo kampus negeri ternama di Kota Banjarmasin.
"Kamu masih suka coklat itu, kan,?" ucapku yang tengah berdiri mengantre tepat di belakangnya, "Masukin aja kak," sambungku ke kasir tersebut.
"Maaf?" seru Ami bingung sembari perlahan berbalik memastikan siapa manusia aneh yang SKSD di antrean minimarket pagi-pagi buta. Ujung pashmina kuning panjangnya melambai indah mengikuti arah tengokan kepalanya, anggun sekali.
Matanya menggerayangi tubuhku dari atas sampai bawah, kerutan di dahinya mengisyaratkan bahwa Ami masih bingung. Kuturunkan masker kf94 yang menutup hampir separuh wajahku. Ya, pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai ini mengharuskan untuk tetap memakai masker, padahal sudah lima tahun semenjak televisi menyiarkan bahwa ada orang Indonesia pertama yang terpapar virus tersebut. Tapi, sisi baiknya, masker hitam favoritku ini 70% efektif mengakomodir wajahku yang tidak good-looking.
"Alif?" Ami dengan sedikit ragu menyebut namaku untuk memastikan bahwa manusia aneh itu memang sesosok pria yang pernah ia kenal sebelumnya.
"Yap," jawabku singkat, lalu kembali menutup hidung dan mulutku dengan masker, takut hari ini aku sial dan terpapar Covid-19 varian Z yang sedang ramai diperbincangkan media saat ini, padahal dulu rasa-rasanya masih varian A, entah, setelah ini ada varian apa lagi. Sebab, ucap pemerintah virus ini mudah bermutasi, yaa, aku 'percaya' saja.
Beres dengan urusannya bersama sang kasir, Ami berlalu ke luar minimarket yang ada di ruas bilangan jalan Kayu Tangi tersebut. Mataku merayap mengiringi arah ia melangkahkan kaki, "Syukurlah," ucapku dalam hati, terlihat ia masih berdiri memainkan telepon pintar keluaran terbaru dengan harga fantastis, berlogo buah yang menjadi salah satu menu makanan diet favoritku.
Aku kemudian berdiri tepat di sampingnya, sepersekian detik berlalu, hening, tanpa aksara, dengan canggung yang sama. Vans butut motif kotak-kotakku yang kusam simetris sejajar dengan pantofel hitam bersih khas wanita kantoran miliknya.
 "Cokelat tadi itu maksudnya apa?" Tanya Ami dingin, memecah kebingunganku yang sedang berpikir dengan kata apa aku harus memulai obrolan. Tidak aku sangka, ia yang pertama bersuara, merusak hukum perfileman yang biasa kutonton di televisi, yang mana biasanya ada perasaan ego sang wanita untuk tidak memulai percakapan terlebih dahulu.
"Silverqueen matcha? Karena kamu suka, kan?" kataku.