Dewan Olimpiade Asia meresmikan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018 setelah Vietnam menyerahkan haknya karena alasan keuangan. Vietnam pada mulanya diberikan kesempatan menjadi tuan rumah pada tahun 2019, tetapi kemudian mengundurkan diri karena kekurangan dana, Pengelola Asian Games menginginkan acara tetap dilakukan pada tahun 2019, tetapi Indonesia meminta perhelatan dilakukan tahun 2018 agar tidak bersamaan dengan pemilihan presiden (bbc.com, 20 September 2014).
 Menurut situs resmi Asian Games (asiangames2018.id), Indonesia telah mengikuti pesta olah raga terbesar di Benua Asia ini sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1951, dan pulang dengan membawa 5 medali yang kesemuanya adalah perunggu dari cabang olahraga atletik. Â
Prestasi Indonesia di Asian Games yang paling membanggakan adalah pada tahun 1962, di mana Indonesia berhasil menduduki posisi runner up dengan perolehan medali sebanyak 77 medali (21 emas 26 perak, 30 perunggu). Saat itu Indonesia mendapat giliran menjadi tuan rumah dan diselenggarakan di Jakarta (tanggal 24 Agustus 1962 - 4 September 1962) dengan jumlah 1.460 atlet yang bertanding, datang dari 16 negara, dengan 15 cabang olahraga.
Prestasi Indonesia di Asian Games cukup dinamis. Indonesia pernah masuk 5 besar jajaran negara paling berprestasi di Asia dalam bidang olah raga. Prestasi ini diraih pada Asian Games 1970 dengan meraih 23 medali yakni 2 emas, 5 perak, dan 17 perunggu. Indonesia menduduki peringkat ke-4 dari 18 negara yang ikut serta. Pada Asian Games ke-7 digelar di Teheran, Iran, pada 1 -- 16 September 1974 Indonesia berhasil meraih 3 emas, 4 perak, dan 4 perunggu, yang mengantarkan Indonesia bertengger di posisi ke-5.
Hanya di tiga tahun (1962, 1970, dan 1974) prestasi Indonesia di Asian Games ada dideretan 5 besar. Pada beberapa tahun ini Indonesia berhasil bertengger di deretan 10 besar. Tahun-tahun tersebut yakni 1951 di New Delhi, India, duduk di peringkat ke-7 memperoleh 5 perunggu; Tahun 1966 di Bangkok, Thailand, Indonesia duduk di peringkat ke- 6 dengan perolehan 7 emas, 4 perak, dan 10 perunggu.
 Tahun 1978 di Bangkok, Thailand, Indonesia berada di posisi ke -7 dengan perolehan 8 emas, 7 perak, dan 18 perunggu; Tahun 1982 New Delhi, India, menduduki peringkat 6 dengan 4 emas, 4 perak, dan 7 perunggu; Tahun 1986 di Seoul, Korea, Indonesia meraih posisi ke-9 dengan 1 emas, 5 perak, dan 4 perunggu; Asian Games 1990 di Beijing, Cina, Indonesia meraih peringkat ke-7 dengan 3 emas, 6 perak, dan 21 perunggu.
Untuk prestasi Indonesia di Asian Games 2014, tim merah putih berhasil meraih 20 medali yang terdiri dari 4 emas, 5 perak, dan 11 perunggu dari 23 cabang yang diikuti (total 37 cabang yang dipertandingkan). Dengan hasil tersebut membuat Indonesia menduduki posisi ke-17. Kendati tidak masuk ke 10 besar pada Asian Games 2014, pada penyelenggaraan Asian Games ke 18 di Indonesia diharapkan menjadi momentum untuk melakukan revolusi pembangunan dunia olah raga di tanah air.
Menurut Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR dan Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo (2018), berkaca dari pengalaman negara lain yang pernah menjadi tuan rumah Asian Games, keuntungan yang didapat memang tidak kecil. Thailand, misalnya, meraup surplus Rp 300 miliar setelah penyelenggaraan Asian Games XIII di Bangkok. Sementara Korea Selatan berhasil mengantongi surplus Rp.670 miliar pasca- Asean Games XIV di Busan.
Nilai ini belum ditambah dengan keuntungan lain seperti pertumbuhan pariwisata dan pemanfaatan infrastruktur. Kita dapat pula menengok sejumlah bangunan ikonik yang disiapkan untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 yang hingga saat ini dapat terus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.Â
Selain Kompleks Olahraga dan Stadion Senayan (sekarang Gelora Bung Karno), Indonesia juga saat itu membangun jalan baru yang saat ini dikenal Jalan Thamrin, Jalan Gatot Subroto, dan Jembatan Semanggi. Selain itu, Patung Selamat Datang (Bundaran HI) dan Hotel Indonesia (sekarang Hotel Kempinski) juga menyambut para duta olahraga dari berbagai negara. Bahkan TVRI mengudara untuk pertama kalinya untuk meliput kegiatan Asian Games saat itu.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mengamanahkan bahwa sistem pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional ditata sebagai suatu bangunan sistem keolahragaan yang pada intinya dilakukan pembinaan dan pengembangan olahraga yang diawali dengan tahapan pengenalan olahraga, pemantauan dan pemanduan, serta pengembangan bakat dan peningkatan prestasi. Penahapan tersebut diarahkan untuk pemassalan dan pembudayaan olahraga, pembibitan, dan peningkatan prestasi olahraga pada tingkat daerah, nasional, dan internasional.
Semua penahapan tersebut melibatkan unsur keluarga, perkumpulan, satuan pendidikan, dan organisasi olahraga yang ada dalam masyarakat, baik pada tingkat daerah maupun pusat. Sesuai dengan penahapan tersebut, seluruh ruang lingkup olahraga dapat saling bersinergi sehingga membentuk bangunan sistem keolahragaan nasional yang luwes dan menyeluruh. Sistem ini melibatkan tiga jalur, yaitu jalur keluarga, jalur pendidikan, dan jalur masyarakat yang saling bersinergi untuk memperkukuh bangunan sistem keolahragaan nasional.
Selama ini sistem pembinaan olah raga di tanah air belum berjalan dengan baik. Salah satu indikatornya adalah "keterkejutan"  pemerintah dan masyarakat jika ada anak bangsa yang mengukir prestasi di kancah internasional. Insiden Lalu Muhammad Zohri yang kebingungan  mencari bendera pusaka Merah Putih setelah memenangi lomba lari 100 meter putra Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di Tampere, Finlandia pada tanggal 11 Juli 2018 adalah salah satu bukti nyata. Insan pembina olah raga tak pernah siap untuk menyambut kemenangan karena memang selama ini belum serius memberikan perhatian.
Perhatian semua orang baru tercurah tatkala ada anak bangsa yang meraih prestasi seperti Zohri. Mereka berlomba-lomba memberi perhatian bahkan saling berebutan untuk merenovasi rumah Zohri. Tak ada yang salah dengan fenomena ini. Memberi apresiasi, penghargaan, hadiah, dan tepuk tangan memang penting untuk dilakukan. Asal jangan lupa untuk mengambil pelajaran bahwa masih ada ratusan Zohri  lain yang sebenarnya bisa dilahirkan seandainya sistem pembinaan olah raga di negeri tercinta ini berjalan dengan baik.
Menurut Sabaruddin Yunus Bangun (2012), idealnya, pembinaan keolahragaan nasional harus memiliki training camp dalam format sport center yang dimiliki oleh setiap kota atau kabupaten, didasarkan pembagian wilayah. Maksudnya, jika sebuah kabupaten atau kota terdiri dari empat wilayah, maka minimal di satu wilayah terdapat satu sport centers, yang mampu menyediakan beberapa program training camp sesuai cabang olahraga yang dijadikan andalan kabupaten/kota tersebut. Â Setiap sport centers dikelola oleh para profesional di bidangnya masing-masing, dengan program dan kegiatan yang selalu direncanakan dan diperbaiki secara jenjang sekolah.
 Program training camp ini dapat diibaratkan sebagai sebuah elite stream, yang mendampingi dan melanjutkan program dari klub olahraga yang bisa juga disebut sebagai recretional stream. Istilah recreational stream dan elite stream sudah lama dikenal dalam sistem pengembangan suatu cabang olahraga di negara maju. Recreational stream adalah sebuah program yang disediakan bagi seluruh siswa yang berminat memasuki suatu klub cabang olahraga tertentu, dengan tujuan memberikan pengenalan terhadap dasar-dasar keterampilan gerak olahraga sekaligus menanamkan rasa kesukaan dan kecintaan anak terhadap cabang olahraga yang diikutinya.
Â
Jika seorang anak dipandang sudah mampu menguasai 70 s/d 80 persen dari keterampilan yang disyaratkan, maka anak itu dapat meningkat ke peringkat selanjutnya.
Elite stream adalah program yang dirancang khusus untuk anak-anak yang dianggap berbakat, terutama setelah diyakini berbakat melalui pengujian pemanduan bakat, baik secara antropometrik, biomotorik, serta psikologik dari cabang olahraga yang diikutinya. Program yang dirancang pada elite stream ini harus memungkinkan anak meningkat prestasinya secara meyakinkan, karena programnya sudah dirancang sedemikian rupa sesuai dengan prinsip-prinsip training, termasuk pula dalam hal intensitas, volume, durasi, serta frekuensinya.Â
Dengan demikian, anak-anak yang akan dilibatkan dalam elite stream adalah anak-anak atau siswa yang sudah dipastikan mampu mengikuti secara ketat dan teratur program yang disediakan.
Hari ini banyak yang merindukan agar prestasi yang diukir oleh pahlawan olah raga Indonesia ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962 bisa terulang di Asian Games 2018 dengan minimal bisa meraih predikat 10 besar dalam perburuan medali. Saya sepakat dengan kerinduan ini tetapi saya lebih merindukan terciptanya sistem keolahragaan  nasional yang baik. Sehingga bisa melahirkan Zohri-Zohri lain yang hari ini masih terpendam oleh sistem pembinaan yang buruk.
Asian Games 2018 semoga bisa menjadi energi bagi negeri ini untuk melahirkan sistem pembinaan keolahragaan yang baik. Sistem pembinaan yang mampu melahirkan prestasi olah raga sehingga citra Indonesia semakin meningkat di dunia internasional. Semoga !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H