Mohon tunggu...
Romi Febriyanto Saputro
Romi Febriyanto Saputro Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Bekerja di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen sebagai Pustakawan Ahli Madya. Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008. Email : romifebri@gmail.com. Blog : www.romifebri.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Resensi Buku] Bencana Ekonomi di Balik Perang Irak

20 Maret 2018   16:24 Diperbarui: 20 Maret 2018   16:47 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bloggerarema.blogspot.com

Perang selalu memberikan kerugian. Tak hanya bagi sang pelaku melainkan mereka yang tidak tahu-menahu tentang peperangan itu sendiri. Invasi AS ke Irak merupakan suatu bukti nyata bahwa perang ini adalah sebuah kesalahan yang sangat besar.

Hampir 4.000 orang tentara AS telah tewas, dan lebih dari 58.000 lainnya terluka, cedera, atau menderita sakit parah. Seratus ribu orang tentara AS pulang dari medan perang dengan menderita gangguan jiwa, sebagian besar diantaranya mengalami gangguan jiwa kronis.

Kerugian di pihak Irak tentu lebih besar lagi. Sekalipun Rezim Saddam Hussein menyedihkan, bagi rakyat Irak, kehidupan saat ini sebenarnya lebih buruk lagi. Jalan-jalan, rumah sakit-rumah sakit, sekolahan-sekolahan, rumah-rumah, museum-museum, dan perpustakaan-perpustakaan hancur lebur ditelan Invasi AS. Korban jiwa dari rakyat Irak tak terhitung lagi jumlahnya.

Perang Irak adalah perang yang penuh tipuan, kebohongan publik, pelanggaran hukum internasional, dan kejahatan perang dan kemanusiaan yang seharusnya dapat menyeret mereka yang bertanggungjawab ke pengadilan internasional sebagai penjahat perang. Perang ini pada dasarnya didorong oleh hawa nafsu imperialisme AS untuk menguasai sumber minyak di Timur Tengah.

Kalaupun ini dianggap sebagai perang balas dendam terhadap serangan teroris 11 September 2001 ke Gedung WTC di New York yang membawa korban 3.000 orang. Balas dendam ini sangat keterlaluan dan tidak proporsional karena mengakibatkan tewasnya lebih dari satu juta warga Irak, hancur-leburnya ekonomi dan infrastruktur Irak, larinya hampir lima juta penduduk Irak menjadi pengungsi luar negeri. Kebrutalan rezim Bush ini jauh lebih berlipat dibanding kekejaman Saddam Hussein yang digulingkannya.

Keprihatinan yang mendalam tentang perang inilah yang melatarbelakangi Joseph E Stiglitz (peraih Nobel Ekonomi 2001) dan Linda J Bilmes (professor Harvard) menuliskan buku ini. Stiglitz menyoroti ongkos-ongkos raksasa yang disembunyikan dari mata rakyat AS. Salah satu contoh kecurangan itu  adalah penggantian peralatan militer yang dihargai 6 kali lipat lebih mahal daripada masa damai. Tidak hanya merugikan kepentingan nasional AS, Perang Irak juga menggoyang stabilitas ekonomi dunia.

"Kami mestinya tak perlu menulis buku ini, dan ketika kami menulisnya, mestinya jauh lebih mudah. Pemerintah dan Kongres seharusnya telah memberikan angka-angka tersebut kepada warga Amerika. Lima tahun setelah mulainya perang ini, Kongres seharusnya tidak mendanainya dengan alokasi dana darurat. Tampak bahwa bahkan pemerintah pun tidak mengetahui dengan jelas biaya perang yang berada di depan mata, apalagi jangka panjangnya" , tutur Stiglitz pada bagian penutup.

Lebih dari sekedar kerugian ekonomi, invasi Amerika ke Irak adalah tragedi besar dengan ongkos kemanusiaan yang tak terhitung. Hillary Clinton mengungkapkan bahwa biaya perang di Irak cukup untuk :

  • Memberikan layanan kesehatan bagi 47 juta rakyat AS yang tak memiliki asuransi kesehatan
  • Menyediakan pendidikan pra-TK yang bermutu untuk semua anak
  • Menuntaskan krisis perumahan
  • Membuat biaya perguruan tinggi terjangkau oleh semua mahasiswa
  • Menyediakan keringanan pajak bagi jutaan keluarga kelas menengah.

Sebagai seorang peraih Nobel Ekonomi, Stiglitz mengungkapkan keprihatinannya tentang  perang ini dengan bahasa ekonomi. "Dengan hanya 1 triliun dolar, Pemerintah AS bisa membangun 8 juta unit rumah, menggaji 15 juta guru selama setahun, membayar asuransi kesehatan 530 juta anak selama setahun, memberikan beasiswa empat tahun kepada 43 juta mahasiswa di universitas negeri. Sekarang, kalikan tiga jumlah-jumlah itu".

Biaya 3 triliun dolar Amerika ini setara dengan kurang lebih 28.000 triliun rupiah atau sama dengan hampir 9 tahun Produk Domesti Bruto (PDB) Indonesia yang saat ini berkisar sekitar 3.500 triliun rupiah setahun, atau 31 tahun APBN kita tahun 2008. Biaya perang yang sejauh ini mencapai 600 milliar dolar per tahun itu bila digunakan untuk membangun gedung sekolah dan rumah sakit sederhana di negara-negara miskin dapat mewujudkan enam juta sekolah atau 600.000 rumah sakit baru setiap tahun.

Untuk perang yang tidak mewujudkan perdamaian, tetapi justru menciptakan permusuhan ini, rakyat AS harus membayar rata-rata 10.000 dolar per jiwa. Ini pun dibebankan kepada generasi berikutnya karena pembiayaan perang ini tidak diambil langsung dari pendapatan negara melalui pajak, tetapi dengan pinjamanan yang harus ditanggung oleh generasi mendatang.

Amerika Serikat kini berada di ambang krisis ekonomi yang menurut sejumlah ahli setara dengan masa Great Depression Tahun 1930-an, bahkan mungkin lebih hebat lagi. Salah satu penyebab kehancuran ekonomi AS ini ditengarai adalah invasinya di Irak. Gore Vidal, seorang esais dan pengarang Amerika terkenal memperkirakan dampak negatif pemerintahan Bush akan dirasakan Amerika sampai 100 tahun mendatang.

Buku Stiglitz yang diterbikan oleh Penerbit Mizan ini harus diakui merupakan buku yang unik tentang Perang Irak. Stiglitz melihat Perang Irak dari sisi biaya perang yang harus ditanggung oleh Pemerintah dan rakyat Amerika, tetapi disinilah sekaligus kelemahan buku ini.

Stiglitz tidak membahas lebih jauh derita dan beban rakyat Irak. Dia hanya membahas analisis detail atas beban biaya yang harus ditanggung oleh pembayar pajak Amerika. Perlu sebuah buku lagi yang mengulas lebih jauh lagi tentang dampak ekonomi perang ini terhadap Irak dan rakyatnya yang masih akan terus menderita hingga ratusan tahun setelah perang usai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun