Sabtu pagi, surat jawaban Hatta sudah diterima Batavia. Tetapi, surat jawaban tersebut "dimainkan" oleh Beel. Dengan alasan, sampai pukul 15.20 waktu Batavia atau pukul 08.20 waktu Negeri Belanda pemerintah Kerajaan masih tetap belum menerima jawaban,...' maka Beel mengirim telegram ke Den Haag, minta agar dia diberi kekuasaan untuk melaksanakan operasi militer menyerbu Djokjakarta.
Pemerintah Kerajaan sudah merasa tidak lagi memiliki peluang. Sehingga mereka kemudian mengirim kata sandi, Nein. Artinya, Beel diizinkan untuk melancarkan operasi militer pada pukul 00.00 hari Minggu dini hari tanggal 19 Desember 1948.
Agresi militer Belanda ini, menimbulkan sikap dan reaksi yang berbeda di kalangan pemimpin sipil dan militer. Pimpinan militer bertekad menjawan serangan tentara Belanda dengan melancarkan perang gerilya. Di sisi lain, para pemimpin sipil sepakat mencoba strategi perlawanan baru melalui jalur perjuangan diplomasi.
Dalam pertemuan terakhir antara Panglima Besar Sudirman  dan Presiden Soekarno,  Presiden menganjurkan agar Pak Dirman ndhelik dulu, bersembunyi di dalam kota, agar bisa melanjutkan berobat. Sesudah sembuh, baru nanti berangkat ke luar kota..."
Anjuran tersebut ditolak Pak Dirman dengan alasan, kalau sampai seorang Panglima Besar tertangkap, efek psikologisnya terhadap seluruh prajurit akan sangat berat dan bakal meruntuhkan semangat perjuangan. Sebaliknya, Pak Dirman mengajak Bung Karno ikut berangkat ke luar kota, untuk melanjutkan perjuangan.
Bung Karno menolak. Dalam biografinya, Cindy Adams mencatat, " Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan tempat pelarianku. Aku harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita, serta memimpin rakyat kita."
Sikap Bung Karno yang lebih memilih ditangkap Belanda daripada melanjutkan perjuangan di luar kota ini jelas semakin memicu kekecewaan kalangan militer terhadap pemimpin sipil. Apalagi sebelumnya, Bung Karno telah berjanji akan memimpin perang gerilya bersama rakyat.
Bagi kalangan militer, perundingan adalah strategi Belanda untuk memperkuat posisi mereka. Begitu posisi mereka lebih kuat dan lebih baik, mereka akan langsung melancarkan serangan sebagaimana agresi militer Belanda pertama dan kedua. Agresi militer Belanda I melanggar perjanjian Linggarjati dan Doorstoot naar Djokja ini jelas melanggar perjanjian Renville.
Kecurigaan kalangan militer terhadap perundingan terus berlanjut, bahkan pasca perjanjian Roem -- Roijen yang menghasilkan kesepakatan untuk mengembalikan kedaulatan Republik.
"Memang, para pemimpin yang sedang menonjol di Djokja pada saat itu adalah mereka yang justru tidak pernah melakukan  perlawanan rakyat semesta dalam perang gerilya. Mereka memasuki masa baru dengan meringkuk dalam penjara, dalam pengasingan, atau dalam pengungsian di daerah Federal.Â
Mereka ini yang merasa senang, karena pendudukan Djokja segera berakhir, sehingga terbuka lagi kesempatan untuk "bermain" politik seperti sediakala, " kritik Abdoel Haris Nasoetion.