Negara Kesatuan Republik Indonesia  pada tanggal 17 Agustus nanti berusia tujuh puluh tiga tahun. Selembar arsip yang berisi teks proklamasi kemerdekaan yang ditandatangani oleh duet bapak bangsa Soekarno -- Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi bukti kelahiran sebuah bangsa yang kini wilayahnya  terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Arsip kemerdekaan ini merupakan hasil perjuangan dari ribuan pahlawan selama ratusan tahun sebelumnya. Setelah arsip kemerdekaan ini tercipta, ribuan jiwa merdeka membela negeri yang oleh Profesor Arsyo Santos (Geolog dan Fisikawan Nuklir Brazil) disebut sebagai Negeri Atlantis, Â untuk mempertahankan kedaulatan negeri ini dari serangan tentara Negeri Kincir Angin dalam perang kemerdekaan 1945 -- 1949. Ribuan darah pahlawan tumpah untuk melindungi nilai yang terkandung dalam selembar arsip teks proklamasi. Arsip telah berperan penting sejak negeri ini dilahirkan.
Makna inilah yang dilestarikan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang arsip. Menurut undang-undang ini dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik dan bersih serta dalam menjaga agar dinamika gerak maju masyarakat, bangsa, dan negara ke depan agar senantiasa berada pada pilar perjuangan mencapai cita-cita nasional, arsip yang tercipta harus dapat menjadi sumber informasi, acuan, dan bahan pembelajaran masyarakat, bangsa, dan negara.
Oleh karena itu setiap lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, perusahaan dan perseorangan harus menunjukkan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan, penciptaan, pengelolaan, dan pelaporan arsip yang tercipta dari kegiatan kegiatannya.
Ironisnya, kini para pengurus negeri tercinta ini menderita amnesia untuk mencintai arsip. Â Nasib arsip di negeri tercinta ini masih memperihatinkan. Birokrasi negeri ini sebagai pencipta arsip negara masih belum sepenuhnya mencintai arsip sebagai bukti dari kegiatannya. Menurut Kepala ANRI, Mustari Irawan, sebagaimana dikutip Pos Kota dalam situsnya, 20 Agustus 2015, hingga kini masih banyak lembaga, baik yang dikelola negara maupun swasta belum peduli terhadap arsip.
Jika lembaga negara tak peduli arsip tentu akan menular kepada lembaga swasta dan masyarakat. RJ Alfaro, Presiden Panama, 1931-1937 pernah mengingatkan bahwa pemerintah tanpa arsip ibarat tentara tanpa senjata, dokter tanpa obat, petani tanpa benih, tukang tanpa alat. Arsip merupakan saksi bisu, tak terpisahkan, andal dan abadi, yang memberikan kesaksian terhadap keberhasilan, kegagalan, pertumbuhan dan kejayaan bangsa.
BirokrasiUmar Bin Khattab
      Umar Bin Khattab adalah Khulafaur Rosyidin yang kedua setelah Abu Bakar. Memerintah selama sepuluh tahun dari 634 -- 644 M dan merupakan pelopor tertib administrasi dan arsip dalam membangun birokrasi negara. Administrasi dan pengelolaan arsip yang baik merupakan kunci sukses Umar dalam mengelola negara yang wilayahnya sangat luas.
      Negeri yang dipimpin oleh Umar adalah negeri yang lahir dari sebuah arsip yang lebih dikenal dengan Piagam Madinah yang ditandatangani oleh Muhammad SAW bersama seluruh unsur dari masyarakat Madinah.Â
Kehadiran "Piagam Madinah" nyaris 6 abad mendahului Magna Charta, dan hampir 12 abad mendahului Konstitusi Amerika Serikat ataupun Prancis. Â Konstitusi tertulis pertama di dunia ini dibuat pada tahun 622 M. Jauh lebih awal dari Magna Carta, disepakati di Runnymede, Surrey pada tahun 1215.
Kandungan "Piagam Madinah" terdiri daripada 47 pasal, 23 pasal membicarakan tentang hubungan antara umat Islam yaitu; antara Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin dan  24 pasal lain membicarakan tentang hubungan umat Islam dengan umat lain, termasuk Yahudi. Inilah arsip pertama di duna yang mengajarkan keberagaman dalam satu negeri.
Spiritualitas Piagam Madinah ini sangat mewarnai birokrasi Umar Bin Khathab. Umar membagi administrasi wilayahnya menjadi 8 provinsi : Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah Basyra, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa depatemen yang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan urusan hukum dari eksekutif. Untuk menjaga keamnanan dan ketertiban dibentuk jawatan kepolisian. Â Umar juga membentuk jawatan pekerjaan umum dan Baitul Mal.
Birokrasi Umar adalah birokrasi yang cinta arsip seratus persen. Semua proses bernegara dalam mengatur kehidupan masyarakat didasarkan pada aturan tertulis yang sangat jelas. Tidak ada wilayah abu-abu dalam birokrasi Umar. Tak ada celah sedikitpun untuk melahirkan korupsi, kolusi maupun nepotisme.
Untuk mengatur tertib administrasi baitul mal Umar menerbitkan buku induk. Pembuatan buku induk merupakan salah satu cara penting pengawasan harta yang dimasukkan Umar dalam aturan harta Islam. Tujuannya adalah untuk mengawasi pemasukan dan pengeluaran Baitul Mal.
Dalam Buku Fikih Ekonomi Umar Bin Al -Khattab karya  Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi  (2006) disebutkan bahwa pengawasan pengeluaran harta baitul mal adalah sebab utama dibuatnya buku induk ini. Hal itu dilakukan setelah Umar melihat banyaknya harta yang mengalir ke ibukota kekhalifahan (Madinah).Â
Amirul Mukminin akhirnya membuat buku induk dan memanggil orang yang bisa menulis dan mengatur, dan memerintahkannya untuk menulis nama-nama orang di buku induk. Buku induk ini merupakan arsip yang sangat penting yang berisi database warga negara yang berhak mendapat santunan dari negara. Sehingga bisa mencegah terjadinya salah sasaran sebagaimana sering terjadi dalam program pemberian bantuan untuk masyarakat tidak mampu di negeri kita.
Untuk mencegah praktik korupsi Umar selalu mencatat harta kekayaan pejabat sebelum mulai menjalankan tugas. Tujuannya adalah mengawasi penambahan harta itu dan mengetahui sumber penambahan tersebut. Inilah yang empat belas abad kemudian ditiru negara-negara barat dan juga negara kita. Â Ironisnya, para peniru ini tidak melaksanakan seratus persen seperti Umar.
Langkah pencatatan ini diikuti dengan larangan berbisnis bagi para pejabat dalam masa jabatannya. Sebagaimana surat resmi Umar kepada Abu Musa yang mengingatkan larangan jual-beli. Umar menulis bahwa perdagangan seorang pejabat dalam masa jabatannya adalah kerugian. Larangan ini dilakukan Umar untuk mencegah seorang pejabat memanfaatkan jabatannya dalam berbisnis.
Sumber daya manusia yang baik merupakan kunci keberhasilan pemerintahan Umar. Sebelum mempekerjakan seorang pegawai Amirul Mukminin membuat perjanjian tertulis dengan calon pegawai tersebut. Dalam arsip perjanjian ini tertulis petunjuk untuk bekerja optimal  pada jam kerja.
Dilarang keras menunda-nunda pelaksanaan kerja karena hal ini merupakan bentuk pencurian waktu kerja. Manajemen kepegawaian Umar ini mirip dengan yang dilakukan birokrasi kita dengan SKP (Sasaran Kerja PNS). Bedanya, SKP saat ini bernasib sama dengan DP-3 hanya sekedar formalitas. Tidak mencerminkan kinerja yang sebenarnya.
Mengapa bisa beda ? Birokrasi Umar adalah birokrasi yang cinta arsip seratus persen. Sedangkan birokrasi kita adalah birokrasi yang cinta arsip hanya di mulut saja. Korea Selatan memperoleh arsip kemerdekaan dua hari lebih awal daripada Indonesia. Tujuh puluh tahun kemudian Negeri Ginseng ini berlari sangat kencang meninggalkan negeri kita. Seolah --olah mereka telah merdeka puluhan tahun  lebih dulu daripada kita.
Semoga birokrasi kita segera bisa berbenah dan mencintai arsip sepenuh hati. Ingat, Indonesia ada karena selembar arsip deklarasi kemerdekaan. Jika tidak sekarang, kapan lagi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H