Mohon tunggu...
Romi Febriyanto Saputro
Romi Febriyanto Saputro Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Bekerja di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen sebagai Pustakawan Ahli Madya. Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008. Email : romifebri@gmail.com. Blog : www.romifebri.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memuliakan Perpustakaan Sekolah

9 Maret 2018   17:51 Diperbarui: 9 Maret 2018   18:04 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sastrawan Taufik Ismail menggelengkan kepala ketika mengetahui menurunnya tingkat literasi pelajar Indonesia dewasa ini. Dahulu, Taufik bercerita, saat ia masih muda siswa SMA sederajad diwajibkan menamatkan 25 judul buku dan membuat 108 karangan selama tuga tahun masa sekolah. Paradigma baru yang berkembang sekarang mengarahkan pelajar lebih banyak gandrung pada media sosial. Kebijakan terbaru siswa SD diwajibkan menamatkan 3 judul buku sastra selama masa sekolah, SMP 6 judul buku, dan SMA 15 judul buku. Tapi, nyatanya ini jauh dari tercapai, bahkan 0 buku yang dibaca (Republika, 2 Mei 2017)

Inilah tragedi literasi yang menimpa negeri ini. Menurut saya membangun literasi di sekolah harus diawali dengan komitmen bersama untuk memuliakan perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah adalah jantung pendidikan di sekolah begitu bunyi perkataan mulia yang sering saya dengar. Seperti jantung perpustakaan memompa dan mengalirkan darah budaya literasi (melek informasi) ke segenap penghuni sekolah. Menghasilkan guru dan murid yang berbudaya literasi. Mampu memberdayakan informasi yang ada di buku, internet, dan media informasi lain untuk mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar.

 Ada enam budaya literasi dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang. Pertama, literasi membaca dan menulis. Literasi membaca tentu diartikan sebagai membaca fungsional bukan sekedar membaca huruf dan kata. Membaca adalah proses untuk memahami bukan sekedar menghapal sehingga pembaca memiliki daya kupas dan daya cerna informasi yang baik. Bukan menelan mentah-mentah informasi palsu (hoax) yang didapat dari pesan WA (Whatsap). Pembaca pesan WA juga dituntut untuk lebih pintar daripada telepon pintar yang dimilikinya.

Menulis adalah keterampilan literasi yang bisa dihasilkan ketika seseorang banyak membaca buku. Bukan proses sebaliknya, ketika mau menulis skripsi baru membaca banyak buku. Membaca adalah aktivitas otak yang alami bukan ditentukan oleh target untuk menghasilkan karya tulis. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik juga. Ini tentu bisa dihasilkan jika sejak dini anak-anak dibimbing untuk bersenang-senang di jendela ilmu.

Kedua, literasi berhitung.  Berhitung tentu tak sekedar bisa melakukan operasi matematika dasar seperti perkalian, pembagian, pengurangan, dan penjumlahan. Literasi berhitung adalah tentang aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari.  Mencegah terjadinya lebih besar pasak daripada tiang dalam menjalankan ekonomi keluarga.

Ketiga, literasi sains. Literasi sains diarahkan pada upaya membangun budaya teknologi tepat guna. Mudah dan murah ketika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hari ini dunia perguruan tinggi banyak menghasilkan berbagai laporan penelitian ilmiah namun seringkali kurang tepat guna. Teknologi tepat guna malah sering hadir dari rakyat jelata seperti Sukiyat dengan mobil Esemkanya dan I Wayan Sutawan dengan tangan robotnya.

Keempat, literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Dengan literasi ini diharapkan tidak terjadi mabuk teknologi seperti saat ini. Naisbitt  (1999) dalam Yasraf Amir Piliang (2013) menjelaskan enam gejala mabuk teknologi yang menjerat manusia masa kini, yaitu merayakan kecepatan dan kesegeraan (tujuh langkah menjadi miliyuner dan seterusnya.), memuja teknologi (penyembuhan, keamanan, iman), mengaburkan yang nyata dan tiruan (virtual & cyber), menganggap kekerasan sebagai biasa (film, perang, game), mencintai teknologi sebagai mainan dan terbiasa dalam ketercerabutan dari realitas.

 

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Kelima, literasi keuangan. Masyarakat yang melek literasi jenis ini tentu tak akan mudah terpesona dengan investasi bodong yang menjajikan prosentase keuntungan yang tidak wajar. Juga tak mudah terpedaya menjadi TKI/TKW ke luar negeri.

Keenam, literasi budaya dan kewarganegaraan. Gegar otak budaya bisa dicegah dengan literasi ini. Asal meniru dan meniru asal-asalan dari budaya luar negeri perlu diperbaiki dengan filter budaya yang baik.

Literasi pelajar tak akan meningkat jika hari ini kita masih abai dengan perpustakaan sekolah. Jika bukan sekarang kapan lagi kita memberdayakan perpustakaan sekolah ? Apalagi kini untuk Perpustakaan SMA sederajad merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi. Tentu harus seribu langkah lebih maju!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun